
JAKARTA, KOMPAS — Kematian ibu melahirkan di perkotaan yang tinggi merupakan sebuah anomali. Meski tenaga medis dan fasilitas kesehatan tersedia memadai, itu tak mampu menekan secara tajam kematian ibu. Keseriusan para pihak yang terlibat dalam penanganan ibu melahirkan pun dipertanyakan.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro, Sabtu (11/7), mengakui masih tingginya kematian ibu melahirkan di perkotaan. Penelitiannya di DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan hal serupa.
"Para pihak yang terlibat dalam penanganan ibu melahirkan tidak fokus pada individu ibu yang melahirkan, tetapi justru terkonsentrasi pada penurunan angka kematian ibu," katanya. Akibatnya, kematian satu ibu melahirkan, termasuk yang di perkotaan, belum dianggap sebagai persoalan serius dan penting.
Penyebab setiap kematian ibu melahirkan sebenarnya selalu diaudit oleh dinas kesehatan dan tim audit maternal perinatal (AMP). Namun, audit itu tidak diikuti dengan respons yang memadai.
Salah satu persoalan yang sering ditemukan dalam AMP adalah tidak ada dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta dokter spesialis anak yang ada dan berjaga 24 jam di rumah sakit. Padahal, rumah sakit itu sudah mengklaim sebagai rumah sakit pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) yang merupakan program pemerintah. Dokter-dokter itu hanya ada jika ada panggilan dari rumah sakit.
Laksono mengakui, keberadaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta dokter spesialis anak di kota juga terbatas. "Karena itu, ke depannya tidak perlu semua rumah sakit berstatus PONEK. Hanya rumah sakit-rumah sakit yang bisa menyediakan dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta dokter spesialis anak selama 24 jam penuh secara on-site (ada di tempat), bukan berdasarkan on-call (panggilan)," katanya.
Hal itu juga akan memperjelas proses rujukan ibu melahirkan yang mengalami kegawatdaruratan saat persalinan. Selama ini, proses rujukan menjadi masalah karena ketika dirujuk ternyata dokternya tidak ada atau masih harus menunggu kedatangan dokter selama beberapa jam. Padahal, penanganan kegawatdaruratan ibu melahirkan butuh penanganan segera.
Penanganan ibu melahirkan juga belum terkoordinasi. Meski dari pemeriksaan kehamilan (antenatal care) seorang ibu sudah diketahui bermasalah, nyatanya para pihak belum menyiapkan tempat persalinan ibu yang dilengkapi dengan tenaga medis dan peralatan penunjang sesuai dengan komplikasi yang dimiliki ibu. Akibatnya, saat waktu persalinan tiba, keluarga sang ibu harus mencari-cari sendiri rumah sakit yang memiliki sumber daya dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan ibu.
"Seharusnya ada layanan yang akan menjemput ibu-ibu yang memiliki komplikasi persalinan. Layanan ini tentu tidak masalah jika dilakukan di perkotaan," ujar Laksono. Layanan ini seharusnya juga bisa dicakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. [] M Zaid Wahyudi
*Sumber: Harian Kompas, 11 Juli 2015 | Ilustrasi pemeriksaan USG