Yogyakarta, PSKK UGM – Ada kecenderungan pandangan dan sikap pro-natalis dari kelompok-kelompok agama, baik Islam maupun Kristen di Maluku. Pandangan mereka mengenai fertilitas begitu longgar. Memiliki banyak anak atau lebih dari dua anak, bukanlah persoalan asalkan keluarga tersebut mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi baru yang berkualitas.
Hal tersebut mengemuka dalam forum Policy Dialog Program Magister dan Doktor Studi Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang diselenggarakan pada Kamis (18/2) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur. Mengambil tema “Segregasi Sosial Berbasis Etnis dan Agama dan Dinamika Politik Lokal di Maluku”, forum ini menghadirkan Prof. Dr. Muhadjir, Darwin, M.P.A., Guru besar Manajemen dan Kebijakan Publik UGM selaku narasumber.
Berangkat dari penelitian kualitatif yang dilakukan di Maluku pada akhir 2015, Muhadjir memperoleh beberapa temuan yang menarik. Menarik karena berbeda dengan temuan penelitian yang juga pernah dilakukannya di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur pada 2014. Pada penelitian sebelumnya, Muhadjir tidak menemukan gagasan radikal maupun pandangan dan sikap pro-natalis pada kelompok-kelompok agama baik Kristen maupun Katolik yang sepadan dengan gagasan Islam Salafi—yang menganjurkan untuk memiliki banyak anak karena sesuai dengan ajaran agama dan untuk alasan politik. Agar dalam jangka panjang umat Islam dari kelompok mereka semakin banyak.
“Berbeda saat saya melakukan diskusi kelompok terarah atau FGD (focus group discussion) dan wawancara mendalam di Maluku. Beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak mendorong untuk membatasi jumlah anak, yang ditekankan adalah kualitas anak nantinya,” kata Muhadjir.
Sikap dan pandangan yang cenderung pro-natalis itu tidak hanya ditunjukkan oleh tokoh agama Islam, melainkan juga oleh tokoh agama Kristen dan Katolik. Salah satu narasumber yang berasal dari kelompok agama Kristen menyampaikan, secara kelembagaan, gereja memang mendukung program-program pemerintah seperti KB. Tapi, secara individual para pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) contohnya, membolehkan keluarga untuk memiliki banyak anak. Gembala sidang pun bahkan memiliki banyak anak.
“Saya sempat berbincang dengan Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Maluku, Prof. Hasbullah Toisuta. Menurutnya, organisasi yang berbasis agama memang tidak secara spesifik memiliki agenda dalam hal pembatasan jumlah anak. Mereka cenderung fokus terhadap perdamaian antarumat beragama. Pengaturan jumlah anak adalah urusan negara,” kata Muhadjir lagi.
Sementara itu, melalui proses diskusi dan wawancara yang sama, diketahui pula bahwa sosialisasi program KB di Maluku tidak secara eksplisit mengkampanyekan norma keluarga kecil, bahwa dua anak cukup. Keluarga dengan jumlah anak yang banyak masih membudaya di masyarakat. Maka, kampanye yang dilakukan lebih menekankan pada pemahaman tentang konsep keluarga sejahtera serta anjuran untuk menjaga jarak kelahiran, yakni melalui penggunaan alat kontrasepsi. Muhadjir menambahkan, dalam hal ini, BKKBN Maluku sinkron dengan pandangan dan sikap beberapa tokoh agama dan masyarakat.
Maluku menghadapi persoalan angka fertilitas yang tinggi. Memang, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), TFR (Total Fertility Rate) Maluku turun dari 3,9 pada 2007 menjadi 3,2 pada 2012. Namun demikian, angka ini masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata TFR nasional, yakni 2,6.
Selain tingginya angka fertilitas, Maluku juga menghadapi arus migrasi masuk yang berasal dari Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Buton, dan Makassar. Di Seram Barat misalnya, 50 persen penduduknya berasal dari Buton, bahkan memiliki posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, wakil bupati selalu berasal dari suku Buton. Ada tuntutan terhadap keseimbangan dalam birokrasi. Islam lokal yang minoritas pun cenderung menggandeng para pendatang untuk memperkuat posisi mereka.
“Mekarnya populasi Islam serta besarmya arus pendatang dari suku lain di luar Maluku memunculkan kecemburuan sosial. Terjadi pula gap atau kesenjangan sosial ekonomi antara putera daerah dengan migran. Muncul kemudian fenomena anti pendatang,” tambah Muhadjir.
Segregasi sosial berbasis etnis dan agama sudah ada sejak dulu dan tidak terhindarkan. Keberadaan kampung-kampung Islam dan kampung-kampung Kristen sesungguhnya sangat rentan akan konflik. Bagi Muhadjir, agar konflik bisa dicegah, penting untuk mendorong kesejahteraan sosial masyarakat dan keadilan sosial, lalu mengeksplorasi kearifan lokal sebagai modal sosial untuk menciptakan kohesi sosial, serta meningkatkan pendidikan sumber daya manusia. [] Media Center PSKK UGM.