Yogyakarta, PSKK UGM — Migrasi internasional merupakan fenomena yang tidak bisa dibendung. Saat pemerintah mengambil kebijakan moratorium untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “kantong migrasi” jelas sangat merasakan dampaknya.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. mengatakan, pemerintah perlu memahami bahwa migrasi internasional terjadi melalui proses yang panjang, bahkan telah menjadi budaya bagi masyarakat di wilayah-wilayah asal pekerja migran. Seperti di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, migrasi internasional telah diturunkan dari generasi ke generasi. Di sana ada begitu banyak rumah tangga migran yang menggantungkan hidupnya hanya dari remitan.
Saat ini pemerintah gencar melakukan persiapan guna menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA 2015. Adanya MEA 2015 menuntut setiap negara-negara anggota ASEAN, tak terkecuali Indonesia, untuk membuka peluang atau pasar tenaga kerja yang luas. Pekerja migran dari negara ASEAN lain bisa bekerja di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Namun demikian, jauh sebelum MEA 2015 dicanangkan, Joko mengatakan, masyarakat di Ponorogo sudah lebih dulu melakukan migrasi internasional.
“Mereka sudah tahu lebih dulu tentang Amerika, Eropa, Hong Kong, Taiwan maupun negara-negara tujuan migrasi lainnya. Maka, jangan pernah hentikan pengiriman pekerja migran kita keluar negeri. Pemerintah harusnya bisa menjadi fasilitator yang baik sehingga para pekerja dapat bermigrasi dengan lancar dan aman,” kata Joko.
Jaminan perlindungan bagi pekerja migran sangatlah penting. Sebuah penelitian pada 2003-2004 tentang violence against migrant overseas yang pernah dilakukan oleh Joko bersama tim menunjukkan, ada banyak kasus kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia mulai dari kekerasan tingkat terendah sampai pembunuhan. Saat berada di lapangan, bahkan ada tiga berita pembunuhan terhadap pekerja migran yang kemudian jenazahnya dipulangkan ke Ponorogo. Kendati demikian, hal tersebut tidak menyurutkan niat masyarakat Ponorogo untuk kembali bekerja di luar negeri.
“Karena setelah dilihat dan juga berdasarkan diskusi dengan Pemkab Ponorogo serta beberapa Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di sana, kebanyakan pekerja migran yang mendapat perlakukan negatif di luar negeri adalah yang tidak lengkap syarat administrasinya. Mereka berangkat melalui jalur yang ilegal,” jelas Joko
Untuk itu, ada dua hal yang sebetulnya perlu dilakukan pemerintah. Pertama, memantapkan kembali kebijakan antarpemerintah atau government to government, kebijakan antara pemerintah dengan perusahaan atau government to company, maupun kebijakan antarperusahaan atau company to company. Kedua, memberikan fasilitas serta jaminan perlindungan tenaga kerja yang sebaik-baiknya bagi para pekerja migran. Perhatian besar juga perlu diberikan kepada wilayah-wilayah yang memiliki indikasi atau kemungkinan besar untuk menjadi daerah pengirim migran.
Pemanfaatan Remitan
Selain jaminan perlindungan, persoalan besar lainnya yang juga dihadapi oleh pekerja migrant adalah pemanfaatan remitan. Ada ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi terhadap remitan, khususnya bagi rumah tangga di perdesaan. Oleh karena itu, pemerintah kemudian melakukan sebuah kebijakan, yakni micro finance management bagi pekerja migran. Tujuannya, agar pemanfaatan remitan bisa diarahkan pada kegiatan ekonomi produktif.
Joko dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Migrasi Internasional dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Rumah Tangga di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur: Pendekatan Spasiotemporal” melihat, tinggi rendahnya remitan dipengaruhi oleh frekuensi bermigrasi. Selain itu, frekuensi bermigrasi juga berkaitan dengan kemampuan pekerja migran untuk mengatur remitan yang diperolehnya dari luar negeri.
Saat migrasi pertama, kebanyakan pekerja migrant masih mencari wawasan, pengetahuan, bahkan belum banyak yang ditujukan untuk kepentingan ekonomi. Namun, saat migrasi kedua, ketiga, dan seterusnya, mereka akan mulai memaknai remitan sebagai alokasi produktif, tidak lagi alokasi konsumtif. Frekuensi bermigrasi pada akhirnya turut mempengaruhi pemahaman pekerja migran akan pentingnya alokasi remitan untuk produktif.
“Terlebih bagi mereka yang bermigrasi ke negara industrial baru seperti Hong Kong, Taiwan atau bahkan ke Eropa dan Amerika. Mereka punya perspektif yang lebih baik dan maju sehingga pendampingan pemerintah terkait pemanfaatan remitan akan gayung bersambut,” jelas Joko lagi. [] Media Center PSKK UGM | Photo BNP2TKI saat sidak ke tempat-tempat penampungan TKI/Berita Daerah