Jakarta, Seruu.com – Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih terbilang tinggi. Sangat tinggi bahkan melampaui target yang ditetapkan MDG's 102/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia 359/100.000 kelahiran (data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, belum ada data terbaru). Angka kelahiran di Indonesia mencapai 4-5 juta per tahun.
"Artinya, per tahun ada 1.436 orang ibu meninggal saat melahirkan. Sebanding dengan penumpang lima pesawat jumbo jet," kata Rieke di DPR, Jakarta, Senin (12/05/2014).
Rieke menilai, gembar-gembor pemerintah SBY untuk menurunkan AKI lagi-lagi jadi pepesan kosong. Pencitraan tanpa kinerja. Bicara penurunan AKI bukan hal yang berdiri sendiri. Pasalnya, ibu melahirkan butuh bantuan tenaga kesehatan, terutama para bidan di desa-desa. Betapa pentingnya keberadaan bidan dibuktikan data pemerintah yang mengakui lebih dari 50% kelahiran di Indonesia ditolong oleh bidan. Bahkan 70% program KB pun dilakukan oleh para bidan.
Untuk diketahui, 60 Bidan pegawai tidak tetap (PTT) perwakilan dari 32 provinsi hari ini mendatangi DPR RI. Setelah diterima oleh Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning, mereka mengikuti rapat paripurna dan setelah itu dengan didampingi oleh Rieke Diah Pitaloka, beraudiensi dengan pimpinan DPR RI, Pramono Anung.
Kedatangan para Bidan PTT tersebut terkait diskriminasi yang diterima oleh Bidan PTT akibat Permenkes No 7 tahun 2013 tentang pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap. Adapun point-point yang disampaikan : pertama, terkait pembatasan masa bakti Bidan PTT yang akan berakhir Juli 2014. Setelah itu mereka bisa menjadi Bidan PTT kembali dengan tidak ada penghitungan masa kerja. Masa kerja dihitung kembali 0 tahun.
Padahal mayoritas Bidan PTT tersebut masa kerjanya sudah 9 tahun. Para Bidan PTT menginginkan status kerja yang jelas, mengingat masa bakti yang sudah sekian lama, pemerintah seharusnya memprioritas para Bidan PTT dalam rekruitmen PNS secara otomatis, melalui jalur khusus dan tanpa pungutan biaya apapun.
Kedua, cuti melahirkan yang seharusnya pada aturan terkait selama tiga bulan, bagi Bidan PTT hanya diberi cuti 40 hari kalender setelah melaksanakan tugas selama satu tahun berturut-turut. Artinya, jika kurang dari masa kerja tersebut tidak mendapatkan cuti melahirkan.
Tindakan diskriminatif lain yang diterima Bidan PTT adalah terkait indikasi "pelarangan Bidan PTT yang masih melaksanakan masa bakti melanjutkan pendidikan". Alasannya, mereka tidak boleh meninggalkan tempat tugas. Di sisi lain syarat untuk mendapatkan ijin praktek minimal harus berijasah D3, sementara masih banyak Bidan PTT berpendidikan D1. Sehingga apabila status PTT dicabut, maka merekapun tidak bisa membuka praktek mandiri.
Jam kerja bidan PTT 24 jam sehari, wajib tinggal di tempat, di beberapa daerah tanpa fasilitas polindes dan rumah dinas. Tugas yang menjadi kewajiban mulai dari pertolongan persalinan, melaksanakan kegiatan Posyandu, mengunjungi dan memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu pasca melahirkan dan bayinya, memberikan edukasi kespro, pelayanan KB, deteksi resiko dini ibu hamil dan bersalin, hingga pendataan terpadu dan membuat rujukan ke RS.
Dengan jam kerja dan beban kerja seperti itu, upah yang diterima per bulan di bawah upah minimum, sejak tahun 2010 hanya Rp. 1.700.000. Tanpa rincian slip gaji,ditransfer melalui rekening Bank BRI. Ada potongan PPH Rp.221.638 dan Askes Rp. 25.912. Sehingga total yang diterima hanya sebesar Rp.1.452.000.
Dalam UU No.36 Tahun 2008 pasal 17 dikatakan bahwa "penghasilan kena pajak (PKP) adalah minimal sebesar Rp.2.025.000 per bulan atau Rp.24.300.000 per tahun". Dengan aturan tersebut semestinya tak ada potongan PPH bagi Bidan PTT. Total jumlah Bidan PTT di 32 Provinsi yang tercatat sebanyak 41.132 orang. Jika dikalikan dengan PPH sebesar Rp.221.638 dikalikan 60 bulan (2010-2014), maka ada indikasi kehilangan uang negara dari APBN senilai sekitar Rp.546 M. Apalagi hingga saat ini para Bidan PTT tidak pernah menerima bukti pajak yang dibayarkan.
Rieke Diah Pitaloka mendukung agar Permenkes 07 tahun 2013 dan induknya, yaitu Kepres No. 77 tahun 2000 dicabut dan diganti dengan aturan baru yang lebih memberikan jaminan pada status kerja dan pemberian hak-hak Bidan PTT sebagai Tenaga Kesehatan.
"Segera melanjutkan pembahasan RUU tentang Kebidanan. Meminta agar Pemerintah SBY memberikan penjelasan tentang indikasi penggelapan uang Negara yang terjadi akibat sistem pengupahan Bidan PTT yang tidak transparan," tandas poilitisi PDI perjuangan ini.
Sementara, menanggapi apa yang disampaikan di atas, Pramono Anung selaku pimpinan DPR RI berjanji akan segera menindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada Presiden SBY agar masalah yang dihadapi Bidan PTT segera diselesaikan dan indikasi penyelewengan uang Negara tersebut dibongkar. Pramono Anung juga menyatakan agar tidak ada intimidasi dari pihak mana pun terhadap Bidan PTT yang mengadukan persoalannya kepada DPR RI. [] Cesare
*Sumber: Seruu.com | Foto: Intisari online