Lansia di Era COVID-19: Perlindungan Sosial dan Peran Perempuan

05 Juni 2020 | admin
Berita PSKK, Informasi, Main Slide, Siaran Pers

Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan Web Seminar (webinar) bertajuk Mereka yang Terlupakan: Lansia dan COVID-19 pada Jum’at, 5 Juni 2020 pukul 09.00-11.00 WIB.

Penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia pada 2019 mencapai 9,60 persen atau sekitar 25,66 juta jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju penuaan penduduk (ageing population) karena persentase penduduk berusia 60 tahun ke atas mencapai lebih dari 7 persen dari keseluruhan penduduk (BPS 2019).

Pada 2019 juga tercatat bahwa rasio ketergantungan lansia di Indoneisa sebesar 15,01 persen. Artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung 15 orang penduduk lansia. Jika diimbangi dengan kemampuan kelompok lansia yang mandiri, berkualitas, dan tidak menjadi beban masyarakat, maka ageing population akan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan nasional.

Di era COVID-19, penduduk lansia (berusia 60 tahun ke atas) merupakan kelompok yang lebih rentan tertular virus tersebut. Data Johns Hopkins Medicine menunjukkan, tingkat kematian lansia akibat COVID-19 tertinggi di dunia sebesar 4,47 persen. 40 persen kematian akibat COVID-19 di Indonesia terjadi pada penduduk berusia 60 tahun ke atas (lansia).

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM dan peneliti PSKK UGM, Dr. Mulyadi Sumarto selaku pembicara dalam seminar daring PSKK UGM menegaskan bahwa diperlukan peningkatan skema perlindungan sosial untuk lansia di Indonesia. Ia memaparkan bahwa hanya sekitar 13,4 persen lansia yang menerima perlindungan sosial. Secara rinci, 11,13 persen adalah pensiunan ASN, 1,5 persen pensiunan militer, 0,01 persen jaminan hari tua, 0,13 persen PKH, dan 0,64 persen dari program ASLUT (BPS 2019).

Sementara menurut status tempat tinggal lansia, data BPS 2019 mencatat sebanyak 41 persen lansia tinggal bersama tiga generasi, 27 persen bersama keluarga, 20 persen bersama pasangan, 3 persen lainnya, dan 9 persen tinggal sendiri. “Sebagaian besar lansia hidup bersama dengan tiga generasi (lansia itu sendiri, anak, dan cucu). Kita bisa bayangkan bagaimana dalam satu rumah ada tiga generasi. Ini cukup masalah bila kita lihat kenyamanan hidup (lansia),” ujar peneliti PSKK ini.

Kemudian terkait perlindungan sosial lansia selama COVID-19, pemerintah menggagas beberapa program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) COVID-19, seperti kartu prakerja, bantuan sosial (bansos) tunai, bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, program keluarga harapan (PKH), program sembako, bantuan presiden (banpres) sembako Jabodetabek, dan bantuan listrik. “Ada jaringan pengamanan sosial yang dibuat pemerintah di era COVID-19, tetapi di antara bantuan itu, di mana hak sosial lansia? Ada kecenderungan negara ‘agak’ kurang memperhatikan kepentingan lansia di tengah COVID-19. Ada satu program (yang menyertakan lansia), yaitu program keluarga harapan. Tetapi tetap saja tidak ada program khusus untuk lanjut usia di era covid-19,” ujar Mulyadi.

Peran Perempuan dalam Perawatan Lansia

Dr. Iwu Dwisetyani Utomo, fellow, school of demography, Australian National University selaku narasumber lain dalam webinar PSKK menyoroti hal lain terkait perawatan lansia. Melalui penelitiannya di 10 desa di Indonesia, Iwu bersama tim peneliti menemukan bahwa perempuan memiliki peran paling besar dalam perawatan lansia. “Pria juga berperan dalam perawatan lansia, namun perempuan memiliki peran lebih besar,” ujarnya.

Iwu memaparkan, ada tiga tipe perawatan lansia, yakni traditional female care, traditional male care, dan gender neutral care. Pada traditional female care, Iwu menjelaskan bagaimana perempuan berperan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan perawatan lansia. Traditional male care merupakan perawatan lansia yang dilakukan oleh pria dengan memberikan bantuan finansial dan manajerial untuk lansia. Sedangkan gender neutral care dilakukan dalam bentuk bantuan umum, seperti fasilitas transportasi dan bantuan saat berbelanja.

Berdasarkan data hasil penelitiannya, Iwu menegaskan, “Intinya adalah bila lansia sehat, maka lebih dari 30 persen dapat melakukan aktivitasnya sendiri, tetapi pertama yang membantu adalah suami atau istri, kemudian anak perempuan. Anak perempuan memiliki peran besar, kecuali dalam hal finansial. Bila lansia jadi sakit, maka bukan lagi suami atau istri yang memberi perawatan, tetapi jatuh pada anak perempuannya,” tuturnya.

“Ini merupakan suatu tantangan, karena seperti yang kita ketahui, anak perempuan  paling berperan dalam perawatan lansia. Ini menjadi masalah bila anak perempuan ingin bekerja. Alangkah baiknya bila pemerintah bisa meningkatkan anggaran untuk lansia,” ujar Iwu.

Penulis: Nuraini Ika |  Editor Bahasa: Rinta Alvionita  |  Foto: Alex (pixabay.com)