SUNAT PEREMPUAN: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas Masyarakat Yogyakarta dan Madura

29 Mei 2003 - 19:09:57 | admin

Sebenarnya perdebatan mengenai sunat perempuan sudah dimulai di tingkat internasional sejak tahun 1960an oleh aktivis dan tenaga medis di Afrika yang menyuarakan konsekuensi kesehatan dari praktik sunat perempuan ini kepada PBB dan WHO. Namun, suara tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius dengan menghasilkan suatu peraturan formal. Baru dalam dua dekade berikutnya sunat perempuan mulai sering dibahas dalam berbagai konferensi internasional, dan akhirnya ditegaskan dalam Konferensi Perempuan ke-4 di Beijing tahun 1995 sebagai isu kekerasan terhadap perempuan yang dapat menjadi ancaman bagi kesehatan reproduksi (Althaus 1997).

Di Indonesia, sunat perempuan baru mulai dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis kira-kira sejak lima tahun terakhir ini. Sebelumnya kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannya dipandang tidak cukup membahayakan kesehatan. Satu-satunya informasi mengenai sunat perempuan di Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau Alor, dan suku Sasak di Lombok. Dalam studi tersebut juga dilaporkan bahwa sunat perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, yaitu dengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris (Feillard & Marcoes 1998).

Di kalangan ilmuwan/wati di Indonesia, perbincangan mengenai sunat itu sendiri seringkali mempersoalkan sejak kapan praktik ini dilakukan di Indonesia; apakah bersamaan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 16, atau sudah ada jauh sebelumnya sebagai bagian tradisi masyarakat asli. Sedangkan dalam perbincangan gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi, persoalan berkembang seputar bagaimana sunat perempuan berfungsi untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam rangka memperkuat sistem masyarakat yang patriarkhis. 

Tulisan ini mencoba mengkaitkan kedua persoalan di atas dalam rangka menggambarkan sebuah bangunan sosial seksualitas masyarakat Yogyakarta dan Madura, seperti tercermin melalui fenomena sunat perempuan. Perbedaan karakteristik kedua daerah penelitian; Yogyakarta dikenal sebagai pusat tradisi Jawa, sementara Madura sebagai daerah mayoritas Muslim; menjadi pertimbangan yang penting untuk melihat apakah terjadi proses sosial historis yang berbeda, dan bagaimana hal tersebut melatarbelakangi fenomena sunat perempuan. Bagian pertama tulisan ini mengulas konteks sosial-historis yang melatarbelakangi praktik sunat di daerah penelitian. Bagian kedua mengupas makna ritual sunat perempuan dalam kaitannya dengan sunat laki-laki. Bagian ketiga menjelaskan pola pelaksanaan sunat perempuan di kalangan masyarakat setempat. Bagian keempat menganalisis implikasi sunat perempuan terhadap persoalan gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Sedangkan bagian terakhir menyimpulkan bagaimana bangunan sosial seksualitas yang ada terbentuk melalui fenomena sunat perempuan, serta menggarisbawahi implikasi kebijakan daripada persoalan sunat perempuan di daerah penelitian. []


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.321 – Basilica Dyah Putranti | 29 Mei 2003