MASKULINITAS: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis

24 Juni 1999 - 11:30:05 | admin

Ada yang bilang bahwa Monumen Nasional (Monas) yang berdiri tegak di jantung kota metropolitan Jakarta adalah simbol kejantanan laki-laki. Perancang bangunan itu sendiri, Presiden I RI Soekarno, adalah sosok lelaki ideal dalam imajinasi orang jawa: lelalaning jagad yang sakti, tampan dan banyak istri, seperti arjuna, tokoh pandawa dalam cerita pewayangan, yang selelu menang disetiap medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi. Presiden II RI Soeharto, adalah juga gambaran ideal lelaki jawa. Soeharto hadir dalam 32 tahun pemerintahan Orde Baru bak raja diraja yang sangat berkuasa dan kaya raya. Dalam imajinasi orang jawa, lelaki ideal adalah yang memiliki benggol (uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Lalu dimana posisi perempuan? Ia adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana), turonggo (kendaraan), kukilo (burung, binatang piaraan, bunyi-bunyian), dan pusoko (senjata, kesaktian). Penguasaan terhadap perempuan (wanito) adalah simbol kejantanan seorang lelaki. Sebaliknya, pada perempuan tidak ada independensi. Ketundukan, ketergantungan, dan kepasrahan perempuan atas laki-laki adalah gambaran kemuliaan hati seorang perempuan jawa.

Hegemoni laki-laki dalam masyarakat tampaknya merupakan fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di masyarakat manapun di dunia. Secara tradisional manusia di berbagai belahan dunia menata diri atau tertata dalam bangunan masyarakat patriarkis. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki diposisikan superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan, baik domestik ataupun publik. Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum negara, dan sebagainya, dan tersosialisasi secara turun-temurun, dari generasi ke generasi.

Paper ringkas ini mencoba menjelaskan realitas sosial di mana budaya patriarki menciri kebanyakan masyarakat di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Paper ini juga menjelaskan adanya suatu proses untuk mengoreksi budaya seperti ini, dan hal tersebut terkait dengan proses modernisasi, individualisasi, dan demokratisasi yang melanda masyarakat di berbagai belahan dunia. Indonesia juga tengah mengalami proses seperti ini. Karenanya dalam rangka proses tersebut budaya patriarki perlu dibedah, antara lain dengan cara melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi konsep maskulinitas. Upaya demikian diperlukan agar dapat dikembangkan konsep baru maskulinitas yang lebih fleksibel dan egalitarian. Sosialisai terhadap konsep baru tersebut diharapkan dapat menyumbang kepada proses modernisasi dan demokratisasi yang tengah berlangsung di masyarakat kita. []


 *Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.281 – Muhadjir Darwin | 24 Juni 1999