Dinamika Hubungan Eksekutif – Legislatif di Era Otonomi Daerah

11 Maret 2004 - 16:49:47 | admin

Otonomi daerah adalah salah satu wujud dari proses demokrasi, karena itu ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan (sharing of power) yang merupakan esensi dari diberlakukannya otonomi daerah. Pembagian kekuasaan tersebut bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Secara vertikal diwujudkan dengan adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah yang ada di daerah, sedangkan secara horizontal dengan cara pemberdayaan parlemen dan pelibatan masyarakat sipil dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Dengan demikian, melalui otonomi daerah diharapkan akan terjadi proses interaksi, interelasi dan interdependensi antar berbagai aktor sesuai kekuasaan yang dimiliki dan fungsinya masing-masing.

Pola hubungan kekuasaan yang interaktif seperti ini adalah perlawanan terhadap pola hubungan kekuasaan yang monolog yang menjadi ciri khas dari rezim Orde Baru. Pada masa itu, kekuasaan atas informasi adalah milik dari negara dan dipaksakan untuk ditransformasikan kepada rakyat melalui proses-proses yang represif. Meskipun sistem ini mampu menciptakan stabilitas politik yang tinggi, hasil pola hubungan kekuasaan seperti ini membuktikan adanya sejumlah penyalahgunaan kekuasaan, ketimpangan antar strata sosial masyarakat dan antar daerah, inefisiensi penyelenggaraan pemerintah dan yang lebih penting lagi telah mengebiri realitas kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh rakyat.

Salah satu kelemahan yang mendasar mengapa dominasi kekuasaan negara (eksekutif) sangat dominan semasa rezim Orde Baru adalah tidak berfungsinya lembaga legislatif yang seharusnya memainkan peran sebagai wakil rakyat. Sangat kental semasa itu, cap yang diberikan kepada lembaga legislatif adalah sebagai lembaga yang sekedar memberikan ‘stempel’ atau ‘ketok palu’ terhadap keputusan yang dibuat eksekutif. Stigma terhadap legislatif ini tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat lokal. Lebel seperti ini menandakan bahwa legislatif berada di bawah dominasi eksekutif. Hal yang sesungguhnya bertentangan dengan prinsip demokrasi yakni kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilembagakan melalui lembaga perwakilan rakyat.

Konstruksi dominatif negara atas rakyat seperti ini coba untuk dibongkar melalui kebijakan otonomi daerah. Spiritnya tetap mengacu pada prinsip demokrasi bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Kedaulatan rakyat ini selanjutnya diamanatkan pada lembaga perwakilan rakyat yang bertugas mengartikulasikan kepentingan rakyat melalui sejumlah partai politik yang memiliki kursi di legislatif. Atas dasar itu, maka makalah ini mencoba untuk mengkaji kembali bagaimana dinamika hubungan antara eksekutif dan legislatif semenjak UU No. 22 Tahun 1999 ditetapkan. Apakah telah terjadi perubahan hubungan di antara keduanya dan bagaimana polanya?


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.326 – Agus Heruanto Hadna (Tim IRDA – Indonesia Rapid Decentralization Appraisal, PSKK UGM) | 11 Maret 2004