Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK – UGM) mengadakan riset pengentasan kemiskinan pada kawasan berkebutuhan khusus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang merupakan daerah yang masuk dalam wilayah prioritas pengentasan kemiskinan ekstrim di Indonesia.
Berdasarkan Data P3KE (Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem) yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (PMK RI), tercatat data kemiskinan ekstrem di Kabupaten Kampar sebanyak 14.153 KK dan 73.432 jiwa. Namun data ini berbeda dengan data hasil validasi dan verifikasi oleh Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Kampar tahun 2023 yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan ekstrim di Kabupaten Kampar ada di angka 3.517 KK.
Salah satu wilayah yang tergolong miskin di Kabupaten Kampar adalah Kecamatan Kampar Kiri Hulu dengan jumlah kemiskinan ekstrim mencapai 149 KK yang tersebar di 18 desa dari 24 desa yang ada di kecamatan tersebut. Sementara 9 desa dengan penduduk miskin ekstrim di kecamatan tersebut berada di kawasan hutan suaka marga satwa Bukit Rimbang Baling yang menjadi ‘Kawasan Berkebutuhan Khusus’.
Kawasan hutan suaka marga satwa Bukit Rimbang Baling di Kampar menjadi ‘Kawasan Berkebutuhan Khusus’ karena secara wilayah dan pengelolaan kawasan, hutan suaka marga satwa berada di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, sedangkan secara administrasi kependudukan, menjadi tanggung jawab Pemerintahan Kebupaten (Pemkab) Kampar. Hal ini menyebabkan penduduk miskin di Kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Baling ini membutuhkan penanganan khusus dalam penanggulangan kemiskinan.
Penetapan Kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Baling ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014 tanggal 23 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, serta dalam Keputusan Gubernur KDH Tk. I Riau No. 149/V/1982 tanggal 21 Juni 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling sebagai kawasan Hutan Tutupan/Suaka Alam.
Dalam pemaparan hasil riset PSKK UGM yang diadakan di kantor BAPPEDA Kampar, tim peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, M.Sc., dan Sri Purwatingsih, S.Si., M.Kes., menyampaikan pemetaan kemiskinan ekstrem di Kawasan Berkebutuhan Khusus, profil kemiskinan, dampak penetapan hutan suaka margasatwa, dan sejumlah variable yang berkaitan dengan kemiskinan di desa yang ada di kawasan hutan suaka margasatwa Bukit Rimbang Baling, Kampar.
Pada kesempatan tersebut, tim peneliti PSKK UGM menyampaikan bahwa penetapan kawasan hutan suaka margasatwa di Bukit Rimbang Baling telah menimbulkan sejumlah dampak bagi warga setempat, seperti mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan masyarakat serta menciptakan keterbatasan akses terhadap layanan publik dan infrastruktur.
“Ketika kawasan hutan ditetapkan sebagai lindung, akses masyarakat lokal ke sumber daya alam di wilayah tersebut akan dibatasi atau bahkan dilarang. Ini dapat mengurangi mata pencaharian dan pendapatan masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan,” jelas tim peneliti PSKK UGM.
Pada kesempatan yang sama, terkait akses dan keterisolasian, tim peneliti PSKK UGM juga menyampaikan bahwa dari hasil riset PSKK tercatat ada 61,2 persen kepala rumah tangga di desa yang ada di area suaka margasatwa Bukit Rimbang Baling tidak memiliki gawai (HP) dan 60,42 persen keluarga tidak memiliki akses internet. Sementara untuk akses antar desa, masyarakat setempat hanya bisa mengandalkan moda transportasi menggunkaan sampan (piyou).
“Jika akses informasi terbatas, bahkan tidak ada sinyal maka hal ini mengakibatkan penduduk sering ketinggalan informasi, misalnya terlambat mendapat informasi beasiswa sekolah,” ujar tim peneliti PSKK.
Selain itu, hasil temuan lapangan PSKK UGM juga menunjukkan bahwa adanya keterbatasan transportasi bagi masyarakat setempat. Untuk transportasi sehari-hari masyarakat harus menggunakan sampan (piyou) yang biayanya mencapai 100 ribu rupiah per orang untuk sekali jalan. Hal ini selain membuat masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya transportasi, namun juga akan mempengaruhi harga bahan bahan baku seperti beras yang bisa beberapa kali lipat lebih mahal dari daerah lainnya.
“Hanya ada beberapa desa yang sudah ada jalan interpretasi, seperti di Muara Bio dan Aur Kuning. Dan hanya Desa Tanjung Belit yang memiliki jalur darat yang bisa dilalui sepeda motor dan mobil, karena posisi desa tersebut berada di luar Kawasan SM BRBB,” jelas tim peneliti PSKK UGM.
Tim peneliti PSKK UGM pada kesempatan ini juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kebijakan bagi pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan ekstream pada kawasan berkebutuhan khusus di Kabupaten Kampar, salah satunya yakni melibatkan berbagai steakholder seperti yang ada dalam konsep penta helix. Hal ini mengingat bahwa kemiskinan adalah persoalan multidimensi, sehingga dalam penanggulannya dibutuhkan kolaborasi yang melibatkan berbagai stakeholder sebagaimana dalam konsep penta helix dalam governance, yaitu: Pemerintah, Masyarakat/LSM, Lembaga Usaha, Akademisi, dan Media.
Penelitian PSKK UGM terkait pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kampar ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs 2030 khusnya pada poin pertama terkait kemiskinan.
Penulis: Nuraini Ika
Foto: Arsip Media