![](https://cpps.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/47/2021/08/APA-Conference-2021.jpeg)
CPPS UGM – Permasalahan stunting masih menyelimuti Indonesia. Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Selain dapat mengganggu pertumbuhan fisik, stunting juga berpotensi memperlambat perkembangan otak dalam jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi hingga obesitas.
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas, angka stunting memang telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018) dan berada di angka 27,7 persen (2019). Namun angka ini masih jauh dari total presentase standar World Health Organization (WHO), yaitu maksimal 20 persen.
Menurut data BPS Kemenkes (2019), hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Bali, Kepulaun Riau, Bangka Belitung, dan Jakarta, memiliki persentase stunting di atas batas rekomendasi WHO. Adapun provinsi dengan angka stunting tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) di angka 43,82 persen, Sulawesi Barat 40,38 persen, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 37,85 persen.
Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN BKKBN, Prof. drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting Indonesia turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk memenuhi target ini, maka angka stunting Indonesia harus turun 2,7 persen setiap tahunnya.
“Memang target ini sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin tercapai selama semua pihak yang terlibat memiliki komitmen tinggi dan koordinasi yang baik serta mengambil tindakan nyata untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia,” ungkap Muhammad Rizal Martua Damanik dalam pembukaan Konferensi Asian Population Associatuon (APA), Selasa 3 Agustus 2021.
Sebagai informasi, Konferensi APA merupakan konferensi internasional yang berfokus membahas isu kependudukan di negara-negara Asia. Pada tahun ini, Konferensi APA diadakan secara virtual selama tiga hari pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM.
Rizal menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki segudang tantangan yang harus diselesaikan agar bisa menurunkan angka stunting, seperti masih tingginya anemia pada ibu hamil, pernikahan usia dini, bayi lahir prematur, dan jarak kehamilan kurang dari 24 bulan.
Dalam data Riskesdas 2018 tercatat 593 ribu ibu hamil mengalami anemia, 663 ribu kehamilan dengan jarak kurang dari 24 bulan (SDKI 2017), dan 675 ribu bayi lahir prematur (SP, 2010).
Menurutnya, pemerintah terus berupaya maksimal untuk menekan angka stunting, salah satunya dengan memperkuat pendampingan pada pasangan sebelum menikah dan sebelum hamil, pendampingan selama kehamilan, dan pendampingan pascapersalinan, seperti menyusi, KB, pascapersalinan hingga merawat anak di bawah lima tahun dan dua tahun.
“Kami (BKKBN) berfokus pada kejadian anemia dan defisiensi mikronutrien sebelum menikah dan sebelum hamil, pemantauan ibu hamil dengan anemia dan ibu hamil risiko tinggi untuk mengurangi jumlah bayi prematur atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR). Untuk menekan angka stunting, maka kita harus menekan masalah yang bisa meningkatkan risiko stunting,” ujar Rizal.
Sementara dilansir dari kemkopmk.go.id (4/8), pandemi COVID-19 menjadi tantangan tersendiri untuk mempercepat penurunan stunting. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Suprapto, mengatakan bahwa pandemi yang melanda dikhawatirkan dapat meningkatkan angka stunting. Menurutnya, pandemi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan berpotensi meningkatkan angka stunting di Indonesia.
Penulis: Nuraini Ika/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (3/8)