
Yogyakarta, PSKK UGM – Daya saing Indonesia di tingkat global, menurut The Global Competitiveness Report 2017-2018 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, berada pada peringkat 36 dari 137 negara. Indeksnya naik jika dibandingkan dengan periode sebelumnya di 2016-2017, yaitu peringkat 41. Meski membaik, indeks daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (3), Australia (21), Malaysia (23), dan Thailand (32).
Masih dari laporan yang sama, Indonesia tercatat sebagai negara dengan daya saing yang berangsur naik karena mampu meningkatkan kinerja di 12 pilar yang diukur. Namun demikian, Indonesia masih harus memberikan perhatian lebih pada persoalan-persoalan, seperti pilar efisiensi pasar tenaga kerja (peringkat 96), pilar kesehatan dan pendidikan dasar (peringkat 94), dan pilar kesiapan teknologi (peringkat 80).
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si. menyampaikan, hingga 2025 mendatang, Indonesia masih akan menghadapi persoalan-persoalan kependudukan seperti kualitas pendidikan dan kesehatan, kemiskinan dan ketimpangan, penyebaran penduduk, serta meningkatnya angka pengangguran. Lemahnya penanganan atas persoalan-persoalan tersebut akan menghambat peningkatan daya saing Indonesia.
“Untuk persoalan kemiskinan misalnya, meski persentase penduduk miskin turun dari 11,5 persen di 2013 menjadi 10,9 persen di 2016, Indonesia tidak banyak mengalami perubahan pada koefisien gini. Ketimpangan masihlah tinggi,” kata Hadna dalam diskusi terbatas bertema “Arah Pembangunan Indonesia Tahun 2025” di Ruang Rapat Besar Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Rabu (29/11).
Selain itu, persoalan tingginya angka kelahiran di beberapa provinsi yang tidak diimbangi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan, mengakibatkan mereka tidak mampu mencapai bonus demografi. Provinsi-provinsi yang tidak mampu mencapai bonus demografi hingga 2035, lantaran angka rasio ketergantungan penduduk nonproduktif terhadap penduduk produktifnya diproyeksikan lebih dari 50 persen, antara lain Nusa Tenggara Timur (61,6 persen), Maluku (54,3 persen), Jawa Tengah (51,7 persen), Sulawesi Tenggara (51,5 persen), Sulawesi Barat (51,1 persen), Maluku Utara (50,8 persen), Sumatera Utara (50,8 persen), dan Sumatera Barat (50,6 persen).
Bagi provinsi-provinsi yang diproyeksikan berhasil mencapai bonus demografi dan memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi, bukan berarti lepas dari persoalan kependudukan. Mereka akan dihadapkan pada persoalan bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia. Apabila persoalan lansia tidak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, maka rasio ketergantungan akan kembali naik dan usia bonus demografi akan semakin pendek.
“Bonus demograsi merupakan momen penting untuk memanfaatkan jumlah penduduk usia produktif bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan daya saing kita. Diperkirakan bonus demografi kedua akan terjadi lagi antara 2025 hingga 2035. Sayang, jika kita tidak mempersiapkannya dengan baik,” kata Hadna lagi.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu, Hadna juga menyampaikan beberapa rekomendasi. Pertama, langkah pengendalian penduduk masih relevan untuk diterapkan khususnya terhadap daerah-daerah dengan angka fertilitas total (TFR) yang tinggi serta diproyeksikan tidak dapat mencapai bonus demografi hingga 2035. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan baik kurikulum, pengajar, maupun metode pembelajaran perlu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sehingga semua warga negara dapat mengakses pendidikan berkualitas secara mudah. Ketiga, Peningkatan kualitas kesehatan dengan mendistribusikan secara merata tenaga kesehatan beserta fasilitasnya. Bagi wilayah-wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah 3T (terpencil, terluar, tertinggal) harus menjadi prioritas di dalam peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Keempat, memperpanjang bonus demograsi dengan mengubah paradigma pembangunan penduduk lanjut usia. Kelima, Penciptaan lapangan kerja yang bisa dilakukan dengan pemanfaatan ICT guna menciptakan usahawan (entrepreneur) baru. Keenam, mendorong migrasi penduduk antarpulau sehingga konsentrasi jumlah penduduk tidak hanya berpusat di Pulau Jawa.
“Distribusi penduduk yang tidak merata merupakan tantangan kependudukan lain yang turut menyebabkan daya saing antarpenduduk di beberapa provinsi berbeda-beda. Provinsi-provinsi di Jawa mendominasi kesiapan daya saing dibandingkan dengan beberapa provinsi lain di luar Jawa,” jelas Hadna. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Wantimpres.doc