Tantangan Penurunan Unmet Need di Yogyakarta | Oleh: Umi Listyaningsih

13 Desember 2016 | admin
Esai & Opini, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Keluarga Berencana merupakan salah satu kebijakan kependudukan yang bertujuan untuk pengendalian kuantitas penduduk. Kebijakan KB bertujuan menekan laju pertumbuhan penduduk hingga tercapainya keseimbangan antara kuantitas dan kualitas penduduk. Kebijakan tersebut dianggap berhasil, terutama sebelum tahun 2000 karena telah berhasil menekan tingkat kelahiran. Selain itu, juga telah terjadi pergeseran nilai anak dan norma dalam kehidupan keluarga yakni yang semula berupa keluarga besar menjadi keluarga kecil atau dua anak cukup. Keluarga Berencana berkembang menjadi sebuah gerakan yang membutuhkan partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan kependudukan utamanya pengendalian penduduk.

Keberhasilan Program Keluarga Berencana salah satunya terlihat dari penurunan angka fertilitas total dari 3,0 pada tahun 1991 menjadi 2,6 pada tahun 2002, dan terus menurun menjadi 2,3 pada tahun 2015. Namun demikian, dalam perjalanannya TFR Indonesia selama periode 2002 sampai 2012 mengalami stagnasi pada angka 2,6. Penurunan TFR tersebut tidak diikuti dengan penurunan unmet need yang berarti, bahkan pada beberapa propinsi seperti Yogyakarta justru mengalami peningkatan dari 6,8 pada tahun 2007 menjadi 11,3 pada tahun 2012.

Unmet need atau kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi secara nasional ditarget sebesar 5 persen pada tahun 2015. Berdasarkan capaian 2012, target tersebut sangat sulit dicapai. Mengapa unmet need sangat sulit untuk diturunkan, merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab untuk merumuskan terobosan-terobosan program yang efektif dan efisien.

Unmet need dari sisi provider dapat diartikan sebagai melemahnya akses penduduk terhadap pelayanan kontrasepsi. Kondisi yang sangat kontradiktif dimana sarana dan prasarana sosial berkembang seperti peningkatan privatisasi pelayanan KB. Masyarakat memiliki banyak pilihan dalam penggunaan kontrasepsi sehingga tidak lagi harus tergantung pada pelayanan pemerintah. Kondisi ini dapat pula dilihat dari perspektif yang lain yaitu ketidakpuasan dengan alat atau jenis kontrasepsi dari pelayanan pemerintah hingga masyarakat harus memilih layanan swasta. Pertanyaannya kemudian adalah apakah harga pelayanan swasta mampu diakses oleh keluarga miskin? Tingginya angka unmet need salah satunya dapat digunakan untuk menjelaskan ketidakmampuan keluarga mengakses alat kontrasepsi yang diinginkan hingga pada akhirnya memilih tidak menggunakan meskipun tidak menginginkan anak lagi.

Tantangan lain dalam upaya penurunan unmet need adalah tingkat pendidikan wanita usia subur. Sebanyak 68 persen PUS unmet need berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi. Pengetahuan tentang metode kontrasepsi hingga efek samping kontrasepsi dipahami dengan baik sehingga muncul sebuah kesimpulan tidak menggunakan kontrasepsi modern untuk mencegah kehamilan. Unmet need perempuan terdidik memiliki resiko kehamilan yang rendah karena perempuan memiliki tanggung jawab dan kesadaran sendiri menolak kehamilan. Penggunaan metode kontrasepsi tradisional yang diragukan efektifitasnya bagi perempuan terdidik terpatahkan. Faktor internal perempuan itu sendiri yang memberikan dorongan kuat untuk mencegah kehamilan hingga dapat disimpulkan meskipun tidak menggunakan kontrasepsi, perempuan dapat memberikan jaminan untuk tidak terjadinya kehamilan.

Asumsi tersebut didukung oleh sebuah fakta bahwasannya mereka masuk dalam PUS tua (berumur lebih dari 40 tahun) dengan umur anak terakhir lebih dari 10 tahun. Pengalaman kehamilan memberikan dasar pemikiran meskipun tidak menggunakan kontrasepsi pun tidak berakhir dengan kehamilan. Metode kontrasepsi tradisional yang dianggap kurang efektif pun mampu menjadi alternatif untuk mencegah kehamilan meskipun secara biologis masih dalam usia reproduksi yang ditunjukkan dengan masa menstruasi.

Unmet need sebagai salah satu indikator kinerja lembaga kependudukan perlu ditinjau ulang atau disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan PUS. Kasus Yogyakarta, ketika unmet need sebagai sebuah indikator kinerja sangat sulit dicapai mengingat karakteristik mereka yang masuk dalam unmet need adalah perempuan terdidik, dengan kondisi ekonomi baik, PUS Tua dan usia anak terakhir lebih dari 10 tahun. Kinerja lembaga kependudukan menunjukkan prestasi yang memuaskan jika TFR dijadikan sebagai indikator. [] Ilustrasi family plannning/unicef.cn