SKRT 2017: Program Rastra Masih Hadapi Persoalan Ketidaktepatan

19 Oktober 2017 | admin
Berita PSKK, Kegiatan, Main Slide, Pelatihan / Lokakarya

Yogyakarta, PSKK UGM – Program Beras Sejahtera (Rastra) sebagai keberlanjutan dari program Raskin merupakan subsidi pangan berupa beras bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Melalui program ini, pemerintah berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan serta memberikan perlindungan sosial bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Sayangnya, implementasi program ini belum bisa mencapai tujuan idealnya.

Evaluation Specialist dari Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), Nur Cahyadi, MSR saat Pelatihan Asisten Lapangan Survei Kesejahteraan Rumah Tangga (SKRT) 2017 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Rabu (18/10) mengatakan, keberhasilan program Rastra diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Dari keenam indikator tersebut, program Rastra masih menghadapi persoalan ketidaktepatan.

Untuk indikator tepat sasaran saja, masih ditemukan exclusion error dan inclusion error yang tinggi. Exclusion error misalnya, masih ada rumah tangga yang seharusnya menerima Rastra, tapi tidak terdaftar sebagai penerima atau telah terdaftar, namun pada praktiknya dia tidak menerima Rastra. Sementara inclusion error sebaliknya, yaitu ada rumah tangga yang sebetulnya tidak berhak menerima Rastra, justru menerima bantuan tersebut.

Begitu pula untuk indikator tepat jumlah. Masih ditemukan Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) yang hanya menerima 4-6 kilogram per bulan dari yang seharusnya 15 kilogram per bulan. Untuk indikator tepat harga juga demikian. Ada RTS-PM yang membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yaitu Rp1.600 per kilogram. Untuk indikator tepat waktu, masih sering terjadi keterlambatan bahkan perapelan distribusi besar. Padahal, distribusi harus dilakukan setiap bulannya.

“Untuk tepat kualitas, banyak ditemukan beras berkualitas buruk atau rusak saat diterima oleh penerima manfaat. Kemudian, untuk tepat administrasi, masih banyak ditemukan prosedur administrasi yang justru sering menjadi penghambat,” kata Cahya.

Guna menjawab persoalan-persoalan tersebut, mulai tahun 2016/2017 pemerintah mengubah skema program subsidi beras menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mendapatkan bantuan sebesar Rp110.000 yang ditransfer setiap bulan melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Dengan KKS ini, KPM bisa membeli bahan pangan (beras, telur, tepung, gula) di e-warong yang merupakan agen bank milik negara (Himpunan Bank Negara/Himbara) seperti BNI, BRI, Bank Mandiri, dan BTN. E-warong terdiri dari warung atau pedagang kecil yang sudah menjadi agen bank, e-warong KUBE PKH, dan Rumah Pangan Kita (RPK) yang dibina oleh Bulog. Setiap e-warong telah dilengkapi dengan fasilitas mesin gesek atau EDC (electronic data capture).

Cahya kembali mengatakan, melalui program BPNT, KPM lebih leluasa karena bisa memanfaatkan dana bantuan untuk membeli bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kualitas yang diinginkan. Tidak hanya itu, KPM juga diajak untuk bertanggung jawab memanfaatkan dana bantuan sekaligus mengelola keuangannya dengan baik.

Program BPNT masih dalam tahap implementasi awal, oleh karena itu saran perbaikan berdasarkan hasil studi pemantauan dan evaluasi (monitoring and evaluation) sangatlah dibutuhkan. Pemerintah, dalam hal ini TNP2K kemudian bekerja sama dengan PSKK UGM untuk mengumpulkan informasi akurat dan mutakhir guna mengevaluasi pelaksanaan program BPNT.

Staf Peneliti PSKK UGM, Eddy Kiswanto, M.Si yang juga merupakan penanggung jawab kegiatan SKRT 2017 mengatakan, survei serupa sudah pernah dilakukan sebelumnya pada Mei lalu, namun masih terbatas di sepuluh kota. Kali ini, survei akan dilaksanakan di 20 kota di 12 provinsi, antara lain Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Utara.

“Sama seperti survei sebelumnya, responden kita adalah pasangan kepala keluarga atau kepala keluarga perempuan yang menerima manfaat BPNT serta pemilik atau pengelola e-warong. Namun, jumlah respondennya kali ini jauh lebih banyak, yaitu 8 ribu KPM dan seribu e-warong,” kata Eddy.

Ada beberapa informasi yang hendak digali melalui wawancara dengan KPM menurut Eddy, yaitu bagaimana pengalaman keluarga sampel di dalam mencairkan bantuan, mekanisme pencairan, dan permasalahan apa yang dihadapi pada saat mencairkan atau berbelanja di e-warong. Sedangkan melalui wawancara dengan e-warong, informasi yang hendak dicari, antara lain lokasi e-warong, keterangan usaha, kerjasama bank, penyaluran bantuan, evaluasi program, pengaduan program, dan partisipasi masyarakat. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Training SKRT 2017/pskk.doc

*Baca juga:

SUBSIDI BERAS: Skema Baru, PSKK UGM Melakukan Survei Monev