[SIARAN PERS] Sistem Pencatatan Kaku, Warga Eks Gafatar Hadapi Masalah Adminduk

02 Februari 2016 | admin
Media, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Ada lebih dari 700 orang yang disebut sebagai mantan pengikut Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, direlokasi dari Mempawah Timur, Kalimantan Barat. Gelombang penolakan begitu besar terhadap kehadiran mereka sehingga baik rumah maupun lahan pertanian yang telah dibangun, harus mereka tinggalkan. Belum berhenti sampai di situ, saat dipulangkan kembali ke wilayah asal, warga eks Gafatar masih harus menghadapi permasalahan administrasi kependudukan.

Sebagian besar dari warga eks Gafatar telah mencabut status kependudukan di wilayah asalnya. Beberapa bahkan telah mengantongi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang baru di Kalbar. Tindakan pemulangan oleh pemerintah kemudian memaksa mereka untuk mengalihkan status kependudukannya lagi.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA mengatakan, terlepas dari persoalan ideologi atau kepercayaan, mobilitas warga eks Gafatar merupakan salah satu bentuk migrasi yang kembali menunjukkan, betapa kakunya sistem pencatatan KTP di Indonesia.

“Sistem Kartu Tanda Penduduk atau KTP di Indonesia dibangun berdasarkan asumsi bahwa penduduk itu statis padahal, masyarakat kita semakin lama mobilitasnya semakin tinggi,” kata Muhadjir.

Muhadjir kemudian mencontohkan sistem pencatatan identitas penduduk di Amerika Serikat yang efektif, efisien, serta mampu mengakomodasi mobilitas penduduknya. Selama tinggal di Amerika Serikat, identitas seorang warga adalah social security number (SSN) sementara jika dia berpergian ke luar negeri, identitasnya adalah dokumen passport. Tak hanya identitas, SSN juga merupakan bentuk keamanan warga negara secara sosial.

Bagi para migran pun diberlakukan hal yang sama. Meski tidak tercatat sebagai warga negara dan hanya menetap atau tinggal sementara waktu (temporary residents) baik karena urusan pekerjaan dan bisnis, tugas belajar, dan lain-lain, mereka diharuskan pula untuk memiliki SSN. Data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut, bahkan memantau mobilitasnya. SSN bisa digunakan untuk semua urusan administratif, seperti di bank, kantor, pemerintahan, sekolah, bahkan untuk urusan pemilihan umum, cukup dengan menunjukkan SSN.

SSN melekat pada negara, sehingga kemanapun warga berpergian, melintas batas negara bagian, dia akan tetap menggunakan nomor identitas yang sama. Berbeda dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia yang melekat pada keterangan tempat tinggal. Saat seseorang berpindah tempat, meski masih di kabupaten/kota yang sama, dia tetap harus mengurus KTP yang baru.

Sebagai contoh, orang-orang yang commute atau pulang pergi bekerja (nglaju). Sehari-hari mereka bekerja di Jakarta kemudian sebulan atau enam bulan sekali pulang ke daerah asalnya. Di Jakarta dia tetap dianggap penduduk ilegal karena tidak memiliki KTP Jakarta, mengapa? Karena KTP melekat pada tempat tinggal.

“Mobilitas adalah salah satu bentuk hak hidup. Maka, sistem administrasi penduduk pun perlu dibangun atas dasar pemikiran ini, bahwa penduduk itu dinamis, bergerak, memiliki mobilitas, tidak stagnan tinggal di satu tempat,” jelas Pakar Administrasi Negara ini.

Terkait aksi pemulangan warga eks Gafatar yang disebut sebagai upaya untuk meredam konflik, Muhadjir mengingatkan agar hak mereka sebagai warga negara jangan sampai dihilangkan. Bahwa warga eks Gafatar memiliki keyakinan yang berbeda, itu merupakan persoalan yang lain. Maka, penting bagi negara untuk tidak terperangkap pola pikir sektarian yang sempit. Negara harus berani dan mau untuk memberikan perlindungan kepada semua warga negaranya, apapun mereka, sejauh mereka pun bertanggung jawab sebagai warga negara.

"Artinya, mereka sebagai warga negara pun wajib untuk tidak menimbulkan kerusakan, tidak melakukan aksi yang merugikan publik, ikut menciptakan suasana yang damai dan tentram di masyarakat, itu sudah cukup,” terang Muhadjir.

Namun demikian, memang hanya sedikit pihak yang bisa menerima pola pandang seperti itu. Intoleransi, menilai pandangan maupun kepercayaan orang lain tidak benar atau sesat, kemudian seolah-olah memiliki otoritas untuk mempengaruhi bahkan memaksa, itulah yang menciptakan ketidakstabilan sosial dan keamanan.

Mengapa kemudian konflik Maluku terjadi, begitu halnya dengan di Poso, padahal sebelumnya tidak. Muhadjir menyampaikan, dulu orang tidaklah begitu mempersoalkan soal perbedaan agama. Baik yang beragama Kristen maupun Islam, sama-sama mengucapkan selamat saat hari raya, sekarang hal itu dipermasalahkan. Segregasi sosial pun menguat, terjadi pengelompokkan, dan ini justru membuat kita rentan terhadap konflik. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi Pemulangan Warga Eks Gafatar/beritagar.id