[SIARAN PERS] Masyarakat Yogyakarta Menilai Aksi Premanisme dalam Dua Tahun Terakhir Meningkat

07 October 2016 | admin
Media, Press Release

STUDI POTENSI KONFLIK 2016:
Masyarakat Yogyakarta Menilai Aksi Premanisme dalam Dua Tahun Terakhir Meningkat

Yogyakarta, PSKK UGM – Aksi kekerasan di jalan atau klitih yang marak belakangan terang membuat masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta khawatir. Ada rasa was-was untuk keluar rumah, terutama saat tengah malam atau dini hari. Keprihatinan juga muncul terlebih saat diketahui para pelaku pada umumnya adalah pelajar.

Terakhir pada akhir September lalu misalnya, terjadi aksi penusukan terhadap Adnan Hafid Pamungkas (20) di Ringroad Barat, Gamping, Sleman. Korban meninggal dunia setelah ditusuk dengan menggunakan senjata tajam oleh pelaku, WN (17). Penyebabnya sepele, hanya karena korban menegur pelaku yang saat itu memainkan gas motor sehingga menimbulkan suara keras dari knalpot.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna mengatakan, aksi-aksi kekerasan tersebut tidak bisa dianggap sepele karena bisa berpotensi memunculkan konflik sosial yang lebih destruktif. Yogyakarta memang belum memiliki sejarah konflik yang mengkhawatirkan, namun hal itu tidak berarti terbebas dari potensi konflik.

Perlu disadari betul bahwa masyarakat Yogyakarta sudah cukup resah terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi. Studi Perubahan Sosial dan Potensi Konflik yang dilakukan PSKK UGM pada 2013 dan 2016 menunjukkan, sebagian besar masyarakat menilai aksi-aksi kekerasan oleh kelompok atau premanisme di Yogyakarta mengalami peningkatan yang signifikan selama periode waktu tersebut.

Dari total jumlah responden 7.752 orang, sebanyak 50,48 persen memiliki persepsi bahwa aksi-aksi premanisme meningkat semenjak tahun 2013 hingga 2016. Peningkatan tersebut terutama dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara responden yang mengatakan aksi kekerasan dan premanisme tetap sebanyak 18,7 persen dan yang mengatakan turun sebanyak 18,65 persen. Sisanya, yakni 12,16 persen mengatakan tidak tahu.

Sementara itu, saat ditanya tentang bagaimana perkembangan premanisme di wilayah tempat tinggalnya, sebanyak 49,42 persen masyarakat Bantul memberikan persepsi naiknya tindakan premanisme di wilayahnya. Persentase ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya, seperti Sleman (32,36 persen), Gunungkidul (26,81 persen), Kota Yogyakarta (23,78 persen), dan Kulon Progo (18,26 persen).

“Studi yang sama pernah kami lakukan pada 2013 lalu. Jika dibandingkan dengan studi yang lalu, maka indeks potensi konflik yang bersumber dari aksi premanisme meningkat di wilayah Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Untuk Kulon Progo indeksnya tetap, sedangkan Gunungkidul indeksnya turun,” kata Hadna.

1475821982_indeks-potensi-konflik-bersumber-dari-premanisme
Tingginya indeks potensi konflik dari premanisme diduga juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Baik Kota Yogyakarta, Sleman, maupun Bantul merupakan wilayah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik DIY menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pada 2012 tertinggi di DIY, yakni 5,76 persen yang disusul kemudian oleh Sleman (5,45 persen) dan Bantul (5,34 persen).

Hadna mengatakan, kemungkinan memang ada indikasi seperti itu. Saat pertumbuhan ekonomi naik, potensi konflik juga dirasakan naik oleh masyarakat. Di satu sisi diduga ada motif-motif ekonomi yang melatarbelakangi munculnya tindak premanisme karena perebutan sumber daya ekonomi yang terbatas. Di sisi yang lain, pengaruh pertumbuhan ekonomi mendorong terjadinya transformasi sosial budaya yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dari model masyarakat yang Gemeinschaft menuju masyarakat Gesselschaft. Pada model masyarakat yang disebut terakhir ini nilai-nilai kekerabatan menjadi longgar dan diganti dengan nilai-nilai transaksional.

Dengan memahami fakta sebagaimana dijelaskan di atas, Hadna menyarankan perlunya pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Basis-basis ekonomi harus tersebar merata tidak hanya di perkotaan tetapi juga sampai pada tingkat perdesaan. Perhatian terhadap wilayah perdesaan menjadi penting karena angka kemiskinan di perdesaan (16,63 persen) lebih tinggi ketimbang di perkotaan (11,79 persen) pada Maret 2016. Penguatan ekonomi di perdesaan diharapkan akan menekan angka urbanisasi yang tidak perlu.

Berkaitan dengan longgarnya nilai-nilai kekerabatan, Hadna menyampaikan perlu dibangun community welfare-based security atau keamanan yang berbasis pada kesejahteraan masyarakat. Bentuk partisipasi masyarakat dalam model ini bukan hanya aspek keamanan secara fisik seperti saat ronda atau siskamling. Rasa aman juga bisa diciptakan dengan mendorong kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi komunitas pada tingkat terbawah seperti RW atau pedusunan agar tanggap dalam merespon kondisi kemiskinan di wilayahnya. Tergerak membantu anak yang putus sekolah, memediasi konflik antartetangga yang berebut sumber air, dan sebagainya. Syaratnya, komunitas ini harus memiliki aturan main yang disepakati bersama dan memperoleh persetujuan komunitas, misalnya tentang hal-hal yang boleh mereka intervensi dan hal-hal yang tidak boleh karena menjadi kewenangan pihak negara melalui aparat keamanan.

Studi Perubahan Sosial dan Potensi Konflik DIY 2016

Studi ini ditujukan untuk mengkaji perubahan sosial yang terjadi di DIY serta potensi konflik berdimensi pemerintahan, politik, sosial ekonomi, sosial budaya (identitas), dan kekerasan kelompok (premanisme). Studi dilakukan di seluruh wilayah administrasi DIY, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Bekerja sama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY, studi ini merupakan kali kedua, setelah sebelumnya pernah dilakukan pada 2013-2014. Adapun studi ini menggunakan dua pendekatan, yakni kuantitatif (survei) dan kualitatif (wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah atau FGD). Responden adalah para tokoh masyarakat, tokoh perempuan, maupun tokoh pemuda di seluruh desa/kelurahan, pedukuhan/RW, dan RT di DIY. Jumlah responden pada riset 2016 sebanyak 7.986 orang.

Bagi PSKK UGM, Pemerintah DIY memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengantisipasi dan mengelola potensi konflik. Pemerintah dituntut untuk mampu mengembangkan kebijakan publik yang berkeadilan, berperspektif multikultur, dan peka terhadap berbagai potensi konflik. Maka, penelitian ini dikembangkan untuk menghasilkan output yang dapat dijadikan basis pengembangan kebijakan Pemerintah DIY. [] Media Center PSKK UGM | Photo: Presentasi hasil Studi Perubahan Sosial dan Potensi Konflik DIY di hadapan Gubernur DIY (29/9)/dok. PSKK UGM