REDESAIN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: Pemerintah Jangan Melonggarkan Upaya Pengendalian Jumlah Penduduk

13 Juli 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Menanggapi berita the Jakarta Post, Rabu (12/7/2017) tentang keinginan pemerintah untuk mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi demi peningkatan produktivitas penduduk, tim peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang terdiri atas Dr. Sukamdi, M.Sc., Dr. Agus Hadna, M.Si., dan Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si. atas nama lembaga memberikan pendapatnya sebagai berikut:

  1. Program Keluarga Berencana (KB) seringkali hanya dikaitan dengan isu pengendalian jumlah atau kuantitas penduduk. Padahal, konsep ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian yang seringkali mengedepankan isu HAM dan demokrasi. Pada kondisi demikian program KB seharusnya dimaknai dalam konteks upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk yang berbasis pada hak (right-based approach) serta bersifat sukarela (voluntary).
  2. Cakupan KB sebetulnya jauh lebih kompleks dan luas dari sekedar pengendalian pertumbuhan penduduk. KB memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai indikator kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Sebagai contoh, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, yakni 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran (Survei Penduduk Antar Sensus, 2015) sebagian besar disebabkan faktor perdarahan akibat usia ibu yang masih terlalu tua, terlalu tua, jarak kehamilan yang terlalu rapat, atau karena terlalu banyak anak. Di sinilah kemudian arti pentingnya program KB. Atas dasar ini PSKK UGM menekankan bahwa pemahaman tentang konsep keluarga berencana bukan hanya soal kuantitas penduduk, tetapi isu kualitas penduduk harus dijadikan dasar bagi pemerintah untuk menyusunan kebijakan kependudukan di Indonesia.
  3. Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa saat ini angka fertilitas kita sudah terlalu rendah sehingga membutuhkan redesain program KB dengan menambah jumlah anak. Ada kekhawatiran sementara pihak bahwa program KB yang sudah berlangsung sejak akhir 1970-an dinilai sudah tidak lagi tepat karena menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk usia produktif di saat negara justru memerlukannya guna mencapai bonus demografi secara maksimal. Muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan seperti Jepang dengan jumlah penduduk lansia sangat tinggi, sedangkan jumlah penduduk usia produktifnya rendah.
  4. PSKK UGM tidak sejalan dengan pendapat itu. PSKK UGM menilai bahwa secara alamiah sebetulnya jumlah penduduk lansia memang akan meningkat, mengingat semakin baiknya tingkat kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Ada peningkatan angka harapan hidup. Namun begitu, angka kelahiran harus tetap dikendalikan agar jumlahnya tidak meningkat lebih tinggi lagi. Melonggarkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk hanya akan menjauhkan Indonesia dari kesempatan untuk dapat menikmati bonus demografi lebih lama.
  5. Pemerintah sebetulnya dapat melakukan diversifikasi kebijakan (assymetric policy) kependudukan yang sesuai dengan kondisi di masing-masing wilayah. Tidak lagi dengan menerapkan kebijakan tunggal yang berlaku sama mulai dari pusat hingga daerah seperti saat ini. Kondisi TFR Indonesia dapat dibagi ke empat kelompok, yaitu provinsi dengan TFR sangat rendah, provinsi dengan TFR rendah di bawah 2,1, provinsi dengan TFR sudah 2,1 serta provinsi dengan TFR masih tinggi. Data Bank Dunia menunjukkan, angka kelahiran total Indonesia (TFR) pada 2014 adalah 2,46, sedangkan target untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang adalah TFR 2,1 pada 2025. Angka kelahiran ini diprediksi akan terus mengalami penurunan dan masing-masing provinsi akan sangat bervariasi kondisinya. Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, pada 2035 diproyeksikan masih memiliki angka kelahiran paling tinggi (3,1) diikuti oleh Maluku (2,8) dan Sulawesi Barat (2,7), sedangkan terendah akan terjadi di DKI Jakarta (1,6) dan DI Yogyakarta (1,7). Dengan demikian, jika kita mau mengatur angka kelahiran dalam rangka menurunkan TFR, maka konsentrasilah pada provinsi-provinsi dengan TFR masih tinggi, sedangkan provinsi yang sudah mempunyai TFR rendah, kebijakan yang diterapkan di sana tentu harus berbeda. Bukan dengan melonggarkan program KB, melainkan dengan program peningkatan kualitas penduduk.
  6. TFR perlu dipertahankan di angka 2,1. Jika dilonggarkan, bisa jadi proyeksi bahwa Indonesia akan tampil sebagai salah satu negara maju seperti yang pernah diprediksi oleh beberapa lembaga internasional tidak akan pernah terjadi akibat beban jumlah penduduk serta ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas penduduk. Negara bisa mempertahankan TFR 2,1 dengan harapan bonus demograsi bisa diperpanjang karena dalam proyeksi PSKK di satu sisi suplai usia produktif tetap akan terjamin dan di sisi lain tetap akan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk (penduduk tumbuh seimbang).
  7. Kekhawatiran pemerintah akan tren penduduk yang menginginkan sedikit atau tidak menginginkan anak seperti yang terjadi di negara-negara maju sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Kultur Indonesia berbeda karena keluarga di Indonesia berbasis komunal dan bukan individualisme sebagaimana di negara-negara maju dan di Barat. Pada kultur demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa keluarga akan memiliki sedikit anak atau bahkan tidak berniat memiliki anak karena pengasuhan anak dalam keluarga tidak hanya akan ditopang oleh keluarga inti tetapi juga oleh extended family.
  8. Konsistensi TFR pada angka 2,1 bisa tercapai jika strategi pengendalian penduduk selalu ditempatkan dalam konteks membangun keluarga yang berkualitas sesuai konteks daerah masing-masing dengan tujuan memaksimalkan hasil bonus demografi.

Ilustrasi keluarga berencana/getty images