Potensi Konflik di Sleman Dipetakan | Suara Merdeka

30 Januari 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

SLEMAN, suaramerdeka.com – Potensi konflik akibat tindakan premanisme di Kabupaten Sleman masih tergolong tinggi. Indeks potensi konflik di sebagian besar wilayah kecamatan bahkan meningkat kecuali Kalasan, Moyudan, Berbah, Cangkringan, dan Prambanan.

Sedangkan Kecamatan Mlati, Depok, dan Gamping merupakan tiga wilayah dengan potensi konflik premanisme tertinggi di Kabupaten Sleman. Pernyataan ini disampaikan Fadlan Habib, peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM saat menyampaikan hasil penelitian perubahan sosial dan potensi konflik tahun 2016 di lima kabupaten/kota se-DIY yang dilakukan bekerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY.

Penelitian ini melibatkan 8.000 responden dari unsur tokoh pemuda, tokoh perempuan, BPD, LKMD, Polsek, dan Koramil. “Penelitian bertujuan untuk mengkaji perubahan sosial dan potensi konflik di Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul, serta Kota Yogyakarta,” terangnya, Minggu (29/1).

Dia menjelaskan, komposisi masyarakat DIY yang multikultur bisa menjadi sebuah kekuatan. Namun jika tidak ditopang oleh kekuatan modal sosial yang memadai justru bisa menimbulkan konflik. Karena itu, pemetaan konflik dalam penelitian ini dilakukan dengan mencakup banyak dimensi antara lain pemerintahan, politik, sosial ekonomi, sosial budaya, dan kekerasan kelompok atau premanisme. Kesemuanya merupakan implikasi dari perubahan sosial yang terjadi di DIY.

Terkait hasil pemetaan potensi konflik ekonomi di Sleman, Habib mengungkapkan indeks tertinggi ada di Kecamatan Mlati, Kalasan, dan Gamping. Sedangkan indeks terendah terdata di Kecamatan Minggir, Prambanan, dan Ngemplak.

“Untuk indeks potensi konflik dimensi politik, sepanjang tahun lalu hampir semua kecamatan meningkat kecuali Minggir yang mengalami penurunan. Indeks potensi konflik tertinggi ada di Kecamatan Ngemplak, Kalasan, dan Prambanan, sedangkan terendah di Kecamatan Minggir, Cangkringan, dan Seyegan,” imbuhnya.

Menanggapi hasil penelitian itu, Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun menilai pentingnya pengelolaan konflik guna menciptakan situasi aman dan nyaman. Mengingat tingginya tingkat heterogenitas masyarakat, diperlukan upaya antisipasi agar kondisi ini tidak dimanfaatkan oleh orang atau golongan yang berniat memecah-belah persatuan dengan dasar perbedaan tersebut.

“Untuk menjaga agar perbedaan yang ada tidak menjadi sumber konflik, kita harus bisa menciptakan situasi kondusif. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan semua pihak supaya tidak terjadi pengkotak-kotakan suku maupun agama,” kata Muslimatun. [] (Amelia Hapsari/CN19/SMNetwork)

*Sumber: Suara Merdeka | Photo: pskkugm.doc