Petani Pangan Masih Nombok | Koran Jakarta

04 Oktober 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Kenaikan pendapatan petani pangan masih lebih kecil dibandingkan pengeluarannya. Fakta di lapangan, petani mengaku susah menjual produk dengan harga bagus.

JAKARTA, Koran Jakarta – Sejumlah kalangan mengkritisi pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kenaikan nilai tukar petani (NTP) September 2017 yang terjadi di tengah deflasi untuk kelompok bahan makanan. Sebab, kenaikan NTP menunjukan kenaikan harga jual produk petani.

Di sisi lain, deflasi pangan mengindikasikan penurunan harga pangan. Sementara itu, meskipun secara total NTP bulan lalu meningkat, namun kelompok petani pangan masih belum mampu menikmati kesejahteraan. Pasalnya, walaupun NTP tanaman pangan juga naik, akan tetapi angkanya masih di bawah 100 atau belum mencapai titik impas.

Dengan kata lain, kenaikan pendapatan yang diterima petani pangan lebih kecil dibandingkan pengeluaran atau biaya produksinya. Artinya, petani masih nombok. Peneliti ekonomi Indef, Bhima Yudistira Adhinegara, mengatakan ketika terjadi deflasi bahan pangan maka NTP semestinya turun karena pendapatan petani berkurang akibat penurunan harga pangan.

“Harusnya antara deflasi dan nilai tukar petani nyambung. Saya lihat memang kadangkadang NTP dengan harga pangan selalu beriringan dan berkorelasi positif.

Tapi, kalau kemudian yang ada berbeda, kita patut bertanya kepada BPS, kenapa datanya jadi tidak sama? Ketika terjadi deflasi, seharusnya nilai tukar petaninya juga turun. Tapi ini direspons sebaliknya,” kata Bhima, di Jakarta, Senin (2/10). Seperti dikabarkan, BPS melaporkan pada September 2017, terjadi deflasi untuk kelompok bahan makanan sebesar 0,53 persen.

Grafik NTPDeflasi tersebut menunjukkan penurunan indeks dari 140,06 pada Agustus 2017, menjadi 139,32 pada September 2017. Kepala BPS, Suhariyanto, menjelaskan kelompok bahan makanan pada September 2017 memberikan andil deflasi sebesar 0,11 persen. Terkait perkembangan NTP, dia menyebutkan NTP September 2017 sebesar 102,22 atau naik 0,61 persen dari bulan Agustus 2017 yang sebesar 101,60.

Dari angka tersebut, NTP tanaman pangan naik 1,6 persen, dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi 99,86 atau masih di bawah level impas. Nilai NTP menunjukkan perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran petani. Jika di bawah 100, berarti petani rugi.

Jika di atas 100, berarti petani untung. Pendapatan petani menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani, sedangkan pengeluaran petani menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk proses produksi pertanian.

NTP tanaman pangan terakhir kali berada di atas 100 pada Maret 2016 sebesar 100,69. Dengan demikian, selama 1,5 tahun terakhir petani pangan belum menikmati keuntungan dari hasil bercocok tanam.

Harga Gabah

Suhariyanto mengemukakan kenaikan NTP tanaman pangan antara lain disebabkan kenaikan harga gabah. Pada September 2017, rata-rata harga gabah tingkat petani untuk semua kualitas gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan gabah kualitas rendah mengalami kenaikan masing-masing 2,6 persen, 4,11 persen, dan 4,91 persen.

Demikian juga di tingkat penggilingan, baik GKP, GKG, dan gabah kualitas rendah seluruhnya mengalami kenaikan masing-masing sebesar 2,64 persen, 3,58 persen, dan 4,4 persen.

“Kalau digabung, selama September ini GKP naik 3,22 persen. Itu tadi yang menjadi salah satu penyebab kenapa NTP di tanaman pangan naik,” ujar Suhariyanto.

Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Agus Hadna, mengatakan pernyataan BPS terkait kenaikan NTP dan deflasi pangan itu mesti diterima dengan sikap kritis. Sebab, kenyataan di lapangan petani justru mengaku susah menjual produknya dengan harga bagus karena kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Sementara itu, laporan konsumsi masyarakat juga menunjukkan terjadi penurunan. “Secara normatif, publik memang mesti kritis dan BPS mesti terbuka bagaimana metodenya, samplingnya, sehingga mendapat data kenaikan NTP petani. Apakah ekonomi secara umum deflasi sehingga mempengaruhi NTP, atau bagaimana?” kata dia. YK/SB/ahm/WP []

*Sumber: Koran Jakarta | Foto: Komoditas cabai merah/Berau Post