Pedas Rasa Pedas Harga | Media Indonesia

17 Januari 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

HARI sudah lewat sore. Azan magrib sudah lama berkumandang. Lazimnya, kondisi gelap pertanda jam kerja berakhir, tapi itu tidak berlaku di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Tetap saja, truk-truk pengangkut sayuran bergantian masuk dan menurunkan barang.

“Pasokan berkurang. Barang yang masuk sedikit,” terang Dedik enteng saat menjawab pertanyaan harga cabai yang melambung.

Dedik ialah salah satu pedagang cabai rawit di Pasar Induk Tanah Tinggi di bawah pengelolaan Pasar Komoditas Nasional (Paskomnas). Dedik juga menepis adanya kemungkinan penimbunan cabai. “Enggak ada itu, memang karena cuaca,” tegasnya.

Kondisi ini sudah berlangsung dari sekitar pertengahan November 2016. Kala itu harga cabai naik menjelang perayaan Natal dan tahun baru. Banyak di antara pemetik cabai yang libur. Salah satu dampak La Nina, cuaca tidak menentu tiba-tiba hujan, kemudian panas menyengat atau sebaliknya. Alhasil, panen cabai yang biasanya dipetik dua kali seminggu menjadi hanya sekali seminggu.

Berdasarkan data dari Dirjen Hortikultura Kementan, masih ada surplus dari ketersediaan jika dibandingkan dengan kebutuhan cabai rawit. Pada Desember, neraca menunjuk angka 7.089 ton dari ketersediaan 61.435 ton dan kebutuhan 54.346 ton. Memang ada perkiraan penurunan produksi pada November, yakni 55.799 ton.

Jika dilihat dari harga di pasar, pada awal Januari, pantauan beberapa pasar induk di Jakarta menunjukkan harga cabai tetap tinggi meskipun stok sudah mulai meningkat.

Pada 11 Januari, misalnya, pasokan cabai rawit di Pasar Induk Kramat Jati 11 ton dengan harga Rp99 ribu/kg, Pasar Tanah Tinggi 30 ton dengan harga Rp95 ribu/kg, Pasar Induk Cibitung 25 ton dengan harga Rp70 ribu/kg.

Mula kenaikan harga sebetulnya bisa dirunut pada pertengahan November saat produksi cabai rawit menurut drastis dari sebelumnya 81.437 ton menjadi 55.799 ton. Harga mulai terkerek di level petani. Secara otomatis, harga di level pedagang pun berturut. Bahkan ketika produksi berangsur stabil dan pasokan mulai mencukupi, harga ternyata tidak ikut turun.

Kerugian produksi

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono mengatakan ada petani cabai yang memang mematok harga tinggi saat ini. Para petani melakukannya untuk mengganti kerugian produksi yang terjadi di waktu sebelumnya yang hanya Rp10 ribu/kg. “Saya tanya petani, kenapa hargamu Rp70 ribu-Rp80 ribu, dia jawab karena harga di Jakarta sedang mahal,” kata Spudnik di kantornya, Jakarta Selatan (13/1).

Bukan rahasia lagi, tanaman cabai rawit memang sangat rentan terhadap faktor iklim dan cuaca. Curah hujan dengan intensitas tinggi bisa berakibat pada gagal panen. Lalu produksi berkurang dan pasokan pun menurun, harga pun terkerek. Pertanyaannya, apakah ada bibit cabai rawit yang tahan terhadap gangguan alam?

Ternyata ada. Spudnik mengungkap bibit lokal lebih tahan terhadap gangguan cuaca. Terlebih lagi, bibit lokal punya tingkat kepedasan yang lebih tinggi, seperti manu di Malang, grandong di Kediri, dan inul di Jawa Barat. “Bibit lokal ternyata jauh lebih bagus, lebih tahan, dan produksinya bisa setahun. Ya itu namanya grandong kediri. Itu keras kok,” tegasnya.

Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Panjisakti Basunanda mengemukakan masalah terbesar percabaian ialah ditanam pada musim penghujan. Penanaman pada musim penghujan menyebabkan terjadinya serangan hama dan penyakit yang cukup banyak pada tanaman ini.

Salah satu langkah yang dapat diambil untuk menyelamatkan tanaman cabai ialah menjaga agar menghindarkan tanaman cabai dari kehujanan yang berlebih. “Ini dari sisi budi daya,” ujarnya kepada Media Indonesia.

Dosen Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian UGM Endang Sulistyaningsih menyatakan, jika pemerintah ingin tetap bisa memenuhi permintaan cabai pada saat musim penghujan, penelitian untuk menciptakan varietas cabai yang tahan pada musim hujan harus dilakukan. Selain itu, bisa dilakukan dengan rekayasa teknologi dengan menggunakan screen house.

Fakultas Pertanian UGM sedang melakukan penelitian dengan menggunakan screen house pada tanaman cabai. Screen house berguna agar tanaman cabai tidak terkena air hujan secara sering dan berlebihan.

Selain itu, pihaknya melakukan penelitian dengan menggunakan Fungisida pyraclostrobin. Penggunaan Fungisida pyraclostrobin sesuai dengan dosis dan rekomendasi bisa mengurangi penggunaan fungisida secara berlebih sehingga hasil panen diharapkan bisa lebih sehat.

Kendati demikian, bibit yang ditanam ialah hak dan kebebasan petani. Mereka boleh menanam bibit apa pun yang dirasa sesuai. Pemerintah pun tidak bisa untuk menentukan jenis bibit yang ditanam petani. “Undang-Undang 12 tentang Budi Daya tidak boleh memaksa,” pungkasnya.

Pasal 6 UU 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budi Daya Tanaman menyebut petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.

Rantai distribusi

Pakar Kebijakan Pangan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Evita Hanie Pangaribowo menyampaikan kasus naiknya harga cabai perlu dilihat dari berbagai aspek. Jika pemerintah mengklaim ini terkait cuaca, hanya aspek produksi yang dilihat. Padahal, persoalan harga terkait dengan banyak aspek terutama rantai distribusinya.

Pemerintah sebetulnya bisa memetakan hulu hingga hilir distribusi bahan pangan agar lebih mudah mengidentifikasi titik apa yang paling memengaruhi kenaikan harga. Selanjutnya, menentukan bentuk intervensi yang tepat guna menstabilkan harga cabai. Bukan hanya dari aspek produksi karena pasokan cabai rawit secara nasional sebetulnya masih surplus.

Kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 68 ribu ton, sementara total produksinya masih aman di angka 73 ribu ton. “Kita tidak tahu siapa sebetulnya yang paling mendapatkan keuntungan dari ini,” kata Evita.

Jika pemerintah berkukuh ini merupakan persoalan cuaca, pemerintah seharusnya memikirkan mekanisme yang tepat untuk membantu petani menghadapi perubahan cuaca. Hasil pertanian memang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Saat cuaca ekstrem, gagal panen bisa saja terjadi dan itu merupakan pukulan telak bagi para petani.

Beberapa bahkan ada yang sampai harus menjual aset untuk menutup kerugian. Belakangan, banyak studi yang membahas agricultural insurance atau weather insurance sebagai salah satu bentuk jaring pengaman sosial bagi para petani. Mekanisme asuransi diterapkan guna menghindarkan petani dari kerugian yang lebih karena kondisi yang rentan dan tidak pasti. (AU/AT/M-2)

*Sumber: Harian Media Indonesia 15 Januari 2017