Ongkos yang Harus Dibayar Indonesia dari Obsesi Memindahkan Ibu Kota | VICE Indonesia

20 April 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Jokowi kembali mengincar Palangkaraya sebagai pengganti Jakarta. Pemerintah menyebut biayanya mencapai Rp100 triliun. Pakar Kependudukan meyakini ongkosnya jauh lebih besar lagi.

Vice Indonesia – Jakarta seakan-akan tidak pernah dicintai pemerintah sebagai ibu kota. Presiden Indonesia dari awal kemerdekaan segera memikirkan kemungkinan memindahkan pusat pemerintahan ke kota lain. Soekarno, presiden pertama RI, beberapa kali menyebut Palangkaraya, di Kalimantan Tengah, sebagai calon ibu kota alternatif terbaik. Selain bebas gempa, Palangkaraya berada tepat di tengah-tengah negeri kepulauan ini, secara simbolis mengirim pesan pada seluruh penduduk bahwa pemerintah tidak hanya memikirkan sisi Barat Indonesia yang selama ini menghasilkan kebijakan Jawa-sentris.

Ketika ide itu pertama kali dicetuskan Soekarno pada 1957, Palangkaraya terhitung kota baru. Masih banyak lahan yang tersedia, mengingat posisi Palangkaraya yang dikepung oleh hutan-hutan perawan. Persoalannya, Palangkaraya kini tak lagi ideal. Ibu kota Kalimantan Tengah ini berulang kali mengalami dampak kabut asap akibat kebakaran hutan yang parah. Palangkaraya masih menjadi kandidat kuat ketika pemerintah ingin memindah ibu kota, tapi pilihan kota lain sedang dipertimbangkan. Pernyataan itu disampaikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Awal April lalu, ide memindah Ibu kota Indonesia kembali digulirkan oleh Presiden Joko Widodo kepada Bappenas. Artinya, Jokowi mengikuti jejak Soekarno maupun Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang juga memerintahkan adanya kajian mendalam terkait lokasi ibu kota alternatif. Pemerintah mengklaim, perintah presiden kali ini lebih serius dibanding sebelumnya.

“Kita perlu kajian-kajian itu dan Presiden sangat serius untuk mempertimbangkanya,” ujar Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro seperti dikutip Tempo. Menurut Bambang, memindahkan ibu kota artinya membuat ekosistem baru yang rumit, karena menyangkut kegiatan administratif sebuah negara. Kepada Bappenas, presiden sudah berpesan agar ongkos pemindahan jangan sampai memberatkan APBN, apalagi sampai menerbitkan utang. Perkiraan biaya memindah ibu kota, jika mengacu pada kajian pemerintahan SBY, menelan dana Rp100 triliun, setara 4,7 persen belanja negara tahunan.

Bappenas menegaskan, Palangkaraya tidak akan otomatis menjadi satu-satunya pilihan ibu kota alternatif. “Kami tentu terus mencari alternatif lainnya, serta menentukan kriteria kelayakannya,” kata Bambang seperti dikutip the Sydney Morning Herald.

Meski baru sekadar wacana, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran telah menyiapkan lahan seluas 500 hektar merespon keinginan Presiden Jokowi. “Kita sedang mengidentifikas lokasi, mengkaji status lahan, dan letak kawasan di tiga kabupaten/kota yang ada di Kalteng,” ujar Sugianto seperti dikutip CNN Indonesia.

Sejauh ini, yang bisa kita pastikan adalah Palangkaraya bukan satu-satunya pilihan. Tapi tentu menarik untuk mencari tahu lebih lanjut, sebenarnya berapa besar sih ongkos memindahkan ibu kota yang sudah bertahan lebih dari setengah abad ke lokasi baru? Rupanya angka yang dibutuhkan jauh lebih besar dari perhitungan awal.

Ibu kota bukan cuma istana negara, tempat tinggal Presiden Jokowi. Memindahkan pusat pemerintahan artinya menempatkan lebih dari 950 ribu pegawai negeri sipil dari Kementerian/Lembaga pusat ke kota lain. Persoalan lain adalah pembangunan gedung pemerintahan baru. Ada 35 kementerian yang berlokasi di Jakarta. Itu belum termasuk 52 bangunan lainnya dari lembaga negara, mencakup Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Badan Pusat Statistik (BPS). Jangan lupa, simbol negara yang wajib ikut pindah mencakup elemen legislatif dan yudikatif. Artinya, perlu dibangun Gedung Parlemen baru untuk menampung anggota DPR di ibu kota anyar nantinya. Serta, gedung Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang wajib dibangun dari nol.

Seandainya yang pindah hanya PNS pusat saja, populasi Palangkaraya sudah langsung bertambah 80 persen dari yang ada sekarang, yakni 220.962 jiwa. Padahal nanti akan ada tambahan 560 anggota DPR dan DPD, plus keluarga mereka, serta lebih dari 100 Kedutaan Besar yang ikut pindah ke lokasi baru. Angka-angka ini menyadarkan siapapun, betapa besar sumber daya yang perlu dikerahkan memindah ibu kota. Kita belum bicara soal pembangunan jalan baru serta infrastruktur pendukung sebuah ibu kota lho.

Agus Heruanto Hadna selaku Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada memindahkan ibu kota ke Palangkaraya akan penuh risiko, meski bukan berarti mustahil. “Secara administrasi politik dan ekonomi tentu bukan hal yang mudah. Ini bukan cuma perkara memindahkan gedung pemerintahan,” ujar Hadna saat dihubungi VICE Indonesia. “Pemindahan ibu kota juga memindahkan sistem politik dan ekonomi yang sudah ada sejak berpuluh tahun.”

Alasan Indonesia tertarik memindahkan ibu kota sebenarnya hampir sama dengan Kazakhstan. Pada 1997, Kazakhstan memindahkan ibu kotanya dari Almaty ke Astana—sebuah kota sepi di tengah stepa, seluas 722 kilometer persegi karena faktor kepadatan penduduk dan terbatasnya sumber daya pendukung. Jakarta sudah dianggap terlalu padat. Kegiatan pemerintahan dan bisnis serta industri tumplek blek di ibu kota seluas 661.5 kilometer persegi, sementara ada 9 juta manusia tinggal di dalamnya.

Jika dibandingkan lebih lanjut, Almaty adalah kota yang sempit dan tidak bisa berkembang dan sering mengalami gempa. Belum lagi posisi Almaty di perbatasan, amat rentan konflik politik dengan negara tetangga pasca kemerdekaan dari Uni Soviet. Jangan lupa, Kazakhstan menghabiskan dana hingga US$40 miliar untuk membangun berbagai monumen yang kurang penting di Astana. Seandainya pindah nanti, Indonesia mungkin bisa menghemat biaya untuk menghindari pembangunan gedung atau monumen tak penting.

Intinya, pemindahan ibu kota dilakukan puluhan negara di masa lalu. Brasil, Kazakhstan, Nigeria, Myanmar, hingga Malaysia melakukannya. Tapi semua punya alasan masing-masing, serta risiko yang tidak bisa disamaratakan begitu saja.

Menurut Hadna, masalah utama pemindahan ibu kota Indonesia justru terletak pada keterikatan pelaku politik dan ekonomi. Mesin perekonomian negara ini sedemikian terkonsentrasi di Jakarta, memicu politik rente, nepotisme, dan kleptokrasi. Seandainya rencana pemindahan ibu kota terealisasi, akan membutuhkan waktu lama agar kedua sistem tersebut dapat berdiri sendiri tanpa saling tumpang tindih. Pemerintah harus berani bersikap, maukah mereka membangun pusat pemerintahan dari lokasi yang jauh dari pengusaha, baik swasta maupun BUMN.

“Masalah lainnya adalah, apakah para pengusaha di sektor swasta tersebut siap jika harus mandiri tanpa mengandalkan pemerintah?” tutur Hadna. Kajian Bappenas yang dinanti semua pihak akan menunjukkan ke arah mana pendulum sikap pemerintah. [] Adi Renaldi

*Sumber: Vice Indonesia | Photo: Normalisasi Kali Ciliwung/netmedia.com