MIFEE: Ruang Keterlibatan Bagi Orang Marind Masih Sangat Minim

18 Desember 2015 | admin
Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Bermula saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan panen raya di Merauke dan di saat yang sama dicanangkanlah Merauke sebagai lumbung pangan nasional. Ide ini bergulir tidak hanya rice estate melainkan integrated rice estate sehingga dikembangkanlah sebuah grand design tentang program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuannya ideal karena untuk memperkuat cadangan pangan dan bioenergy nasional sekaligus untuk mempercepat pemerataan pembangunan di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua. Namun, sejauh mana masyarakat asli Papua dilibatkan dalam megaproyek ini?

Isu ini menjadi pembahasan menarik dalam forum Policy Corner “KEBIJAKAN SEJUTA HEKTAR SAWAH DI MERAUKE: Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?” yang diselenggarakan oleh Program Magister dan Doktor Studi Kebijakan (MDSK) Universitas Gadjah Mada, Selasa (15/12) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun. Hadir sebagai narasumber Dr. Laksmi Adriani Savitri, M.A., Dosen Antropologi UGM yang dalam beberapa tahun terakhir melakukan penelitian tentang proyek ketahanan pangan pemerintah di Merauke dan Ketapang.

Laksmi menjelaskan, selain itu ada latar belakang lain, yakni pada 2008 terjadi fenomena global dimana harga pangan dunia meroket sedemikian rupa, sama halnya dengan harga energi. Terjadi kontestasi antara tanaman yang dibutuhkan untuk pangan dengan tanaman yang dikonversi menjadi energi. Pemerintah pada saat itu melihat bahwa Indonesia berpeluang untuk memanfaatkan kenaikan harga pangan dunia dengan memperluas produksi pangan. Maka, MIFEE sebagai sebuah desain pada akhirnya diluncurkan di Merauke pada 2010.

“Menariknya, setelah dua tahun berjalan hingga 2012, kemajuannya dinilai sangat lamban sehingga Kementerian Pertanian mencari lokasi lain untuk dikembangkan menjadi food estate. Maka, dipilihlah Kabupaten Ketapang,” kata Laksmi.

Memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo, megaproyek di Merauke kembali menjadi perhatian, terutama pasca kunjungan Presiden ke proyek sawah PT. Parama Pangan Papua—salah satu anak perusahaan Grup Medco. Saat kunjungan, penggunaan teknologi pertanian modern didemonstrasikan, mulai dari seed planter (alat penanaman padi) sampai combine harvester (alat panen padi). Kemampuan canggih teknologi ini disebut bisa mendukung hasil panen hingga 8,1 ton per hektar setiap satu kali panen.

Pasca kunjungan, Jokowi nampaknya berhasil diyakinkan akan prospek proyek tersebut. Proyek 1,2 juta hektar sawah mulai dijalankan dan dikelola oleh BUMN, konsorsium pangan, dan dikomandani oleh PT. Pupuk Indonesia Holding Company. PT. PIHC disebut mendapat alokasi lahan seluas 750 ribu hektar, kemudian Kementerian Pertanian seluas 250 ribu hektar, dan sisanya seluas 200 ribu hektar akan dikelola oleh swasta.

“Sampai akhir 2015 diharapkan sudah ada 10 ribu hektar sawah yang dibuka. Tahap pertama di tahun ini ditargetkan 1.930 hektar, namun sampai dengan November baru tercapai 1.040 hektar sawah yang dibuka. Target dengan realisasi masih sangat jauh,” kata Laksmi lagi.

Lepas dari gegap gempita megaproyek MIFEE, sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT. Smartindo Amore Persada menunjukkan temuan yang menarik. Sebanyak 64 persen responden pemilik tanah justru tidak bersedia untuk menyewakan tanahnya bagi proyek ini. Bahkan, masyarakat di Distrik Urik—lokasi Presiden Jokowi melakukan seremoni panen—sebanyak 77,8 persen tidak mau menyerahkan tanahnya. Kendala yang dihadapi masih berkutat soal penyediaan tanah akibat negosiasi yang belum tuntas, terkait hak ulayat.

Soal bertani, berkebun, membuka sawah, hingga melakukan pertanian tanaman campuran bukanlah suatu ide yang baru bagi masyarakat di Merauke, khususnya Suku Marind. Laksmi mengatakan, bukan tidak mau berubah atau menolak transformasi, namun persoalannya adalah bagaimana mereka diberi ruang dan diikutsertakan di dalam proses transformasi itu. Ternyata ruang yang disediakan bagi orang Marind sangatlah minim.

“Ini menjadi arena pertarungan yang luar biasa bagi orang Marind karena jalan bagi mereka tidak disediakan dan menurut mereka, ini harus direbut,” jelas Laksmi. [] Media Center PSKK UGM |