[Media Archives] Harga Tanah Tinggi Picu Transmigrasi

21 November 2016 | admin
CPPS' News, Main Slide, Media

JOGJA, Harian Jogja – Peminat transmigrasi di DIY cukup tinggi. Banyaknya orang yang ingin mencari penghidupan lebih baik di luar Jawa ditengarai akibat makin sempitnya lahan di DIY.

Mahalnya harga tanah menjadi salah satu alasan warga untuk menjadi seorang transmigran. Mereka tidak mampu membeli lahan untuk bercocok tanam demi mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga tertarik dengan program transmigrasi yang memberikan lahan secara cuma-cuma. Harga tanah di Jogja berkisar antara Rp200.000 sampai Rp40 juta per meter persegi. Sementara, pendapatan rata-rata warga berdasarkan upah minimum kabupaten berkisar Rp1,2 juta sampai Rp1,4 juta per bulan.

Suhaimin warga Dusun Gadungan Kepuh, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul telah mendaftar untuk menjadi transmigran. Pria yang bekerja sebagai sopir truk ini mengaku telah mendaftarkan diri ke Disnakertrans Kabupaten Bantul 2013 lalu.

Dia mengkau sudah mantap untuk meninggalkan kampung halamannya. Dia berencana membawa istrinya dan meninggalkan ketiga anaknya yang semuanya telah berkeluarga. Dia meninggalkan ketiga anaknya itu dengan mewarisi sebidang tanah. “Saya punya lahan sekitar 600 meter persegi yang sudah saya bagi untuk tiga anak saya,” ujarnya, Jumat.

Rencananya, Suhaimin akan segera berangkat ke Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan akhir 2016 ini. Di sana, dia berencana untuk mengolah lahan yang telah disediakan oleh pemerintah dengan menanam padi atau palawija. “Di sini sempit. Kalau membeli lahan di sini (Bantul.red) mahal, per petak harganya Rp200.000 sampai Rp1 juta, tuturnya.”

Harga tanah semahal itu tak terjangkau olehnya yang hanya memiliki penghasilan tak menentu. Sebagai sopir truk, rata-rata setiap bulan dia menghasilkan Rp2 juta.

Salah satu warga Sleman yang hendak berangkat transmigrasi, Sardiyono mengatakan ia mendaftar transmigrasi karena belum memiliki tanah ataupun rumah tinggal. “Harga tanah murah pun saya juga belum bisa membeli tanah, walau hanya seluas untuk membuat rumah. Mungkin dengan ikut transmigrasi di lokasi tinggal yang baru bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga,” ucap dia.

Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Sriyati mengatakan pada 2016, 50 keluarga melakukan transmigrasi ke Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada pertengahan Oktober 2016. Jumlahnya mencapai ratusan jiwa. “Saat ini kami tengah mempersiapkan lagi gelombang transmigrasi, tetapi masih menunggu SPP atau Surat Pemberitahuan Penempatan dari pemerintah pusat,” terangnya, Jumat (18/11).

Pada 2015, Pemda DIY memberangkatkan 116 keluarga untuk berangkat transmigrasi di berbagai wilayah di Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan.

Menurutnya, minat transmigrasi warga DIY tergolong tinggi. Jumlah yang dikirimkan tersebut merupakan seleksi dari sekitar 800 kepala keluarga yang mengajukan permohonan. Tingginya peminat transmigrasi tidak lepas dari makin banyaknya alih fungsi lahan di DIY sehingga lahan kian menyempit.

“Lahan dianggap mahal, kalau di sana (lokasi transmigrasi.red) cukup menjanjikan dapat lahan,” ujar dia.

Kepala Disnakertrans Bantul, Susanto mengatakan, minat warga untuk mengikuti transmigrasi cukup tinggi. Rata-rata setiap tahunnya terdapat 200 kepala keluarga yang mendaftar. Kendati demikian, tidak semua dari mereka yang mendaftar lantas langsung berangkat.

Dia mengatakan, kuota bagi para transmigran sangat terbatas. Dia menyebut rata-rata setiap tahunnya hanya dapat memberangkatkan 50 keluarga. Pada 2016 kata dia, hanya memiliki kuota 57 keluarga, meningkat 17 keluarga dari tahun sebelumnya. Dengan kuota sejumlah itu, kebanyakan warga yang mendaftar kemudian harus menghadapi kenyataan menungggu dua sampai empat tahun untuk berangkat.

Kasi Penempatan dan Perlindungan Bidang Transmigrasi Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kulon Progo, Suryantoro mengatakan Kulon Progo baru mengantarkan 11 keluarga ke lokasi transmigrasi di Sepunggur, Bulungan, Kalimantan Utara. Angka itu maish jauh lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 27 keluarga ke sejumlah wilayah di luar Jawa. Transmigran bakal diantar hingga ke tempat tujuan dan mendapatkan bantuan sosial berupa modal kerja sebesar Rp5 juta per keluarga. Transmigran selanjutnya berhak atas lahan rumah dan pekarangan serta lahan usaha seluas total dua hektar.

Kepala Bidang Transmigrasi, Dinsosnakertrans Gunungkidul Basuki mengatakan, kuota transmigrasi yang diterima tahun ini sebanyak 40 keluarga. Antusiasme tinggi ini muncul juga tidak lepas dari sanak saudara atau tetangga yang terlebih dahulu ikut.

Di Sleman, sejak 2011 sampai 2015 jumlah warga yang mendaftar untuk transmigrasi justru menurun. Kenaikan terbanyak transmigrasi pada tahun 2010 saat erupsi Merapi, sebagian besar warga mendaftarkan karena kehilangan lahan dan harta di daerah asal.

Kepala Seksi Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Sleman Yuni mengatakan, tiap tahun pemberangkatan peserta transmigrasi Sleman hanya 15 sampai 20 keluarga.

Rumah Mahal

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Nur Andi Wijayanto mengatakan harga tanah di DIY sangat bervariasi. Hal itu sangat bergantung dari lokasi tanah tersebut.

Sementara itu, untuk harga rumah yang disuplai anggota DPD REI DIY saat ini ada tiga segmen. Segmen pertama adalah rumah dengan harga kurang dari Rp500juta yang jumlahnya 10 persen. Segmen kedua dengan harga Rp500 juta hingga Rp1 miliar yang mencapai 70 persen. Segmen ketiga dengan harga Rp1 miliar ke atas dan memiliki porsi 20 persen.

Ia mengatakan, pengembang kesulitan menyediakan rumah murah karena harga tanah di wilayah Jogja, Sleman, dan Bantul sangat tinggi. Ada beberapa hal yang membuat harga tanah di DIY tidak bisa murah, yakni luas lahan yang terbatas, sedangkan permintaan tinggi.

Adapun pakar migrasi internasional dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Sukamdi menyebutkan, tingginya angka transmigrasi dari DIY disebabkan oleh tingginya pula angka migrasi ke DIY,

Pada periode 2010-2012, jumlah penduduk yang masuk ke Jogja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang keluar. Hal ini terjadi karena banyak pihak mengenal DIY sebagai daerah yang nyaman untuk ditinggali. Alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi nonpertanian, misalnya industri dan permukiman juga ikut menyumbang peningkatan.

“Banyak orang yang membeli rumah di Jogja kemudian tinggal di Jogja. Ini yang kemudian mendorong harga tanah yang gila-gilaan seringkali tidak masuk akal. Dalam situasi seperti itu sangat wajar bagi penduduk DIY yang secara ekonomi kurang, dari menengah ke bawah, mereka akan susah mengikuti peningkatan harga tanah di DIY,” kata dia kepada Harian Jogja, Minggu (20/11).

Bahkan, para pengembang juga membeli lahan dan tanah yang dijual di DIY kerapkali tanpa tawar-menawar, ini yang kemudian membuat harga tanah melonjak drastis. Efeknya, warga justru diduga mencari alternatif untuk mendapatkan lahan di luar DIY yang sesuai dengan kemampuan daya beli mereka. Menurutnya, transmigrasi merupakan solusi masuk akal untuk menyiasati tingginya harga tanah.

Sukamdi mengatakan, perlu memberikan dukungan bagi pertanian atau petani agar mereka tidak keluar dari sektor pertanian, tidak menjual lahan pertanian mereka. Penyebabnya, sektor pertanian merupakan unsur utama yang menarik calon transmigran.

Pemerintah juga perlu membantu petani agar mereka bisa memiliki produktivitas sebanding dengan upaya yang mereka lakukan. “Rata-rata luasan kepemilikan lahan pertanian tiap orang 0,3 hektar,” kata Sukamdi.

Dengan luasan lahan sekecil itu, petani kesulitan dalam biaya produksi, padahal hasil sedikit. Pemerintah juga perlu menyerap produk petani agar harga hasil pertanian mereka tidak jatuh. [] Sunartono, Irwan A. Syambudi, Kusnul Isti Qomah, Uli Febriarni

*Sumber: Harian Jogja (21/11) | Foto: Mural alih fungsi lahan/beritadaerah.co.id