[Media Archives] Disparitas Pendapatan Picu Kerawanan Sosial

15 Desember 2015 | admin
Media

Indikator Pembangunan – Lapangan Kerja Sempit, Bonus Demografi akan Mubazir

KORAN JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai ketimpangan pendapatan yang masih relatif tinggi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, terutama dipicu oleh disparitas atau kesenjangan kesempatan yang diperoleh masyarakat di kota besar maupun di daerah. Tanpa keseriusan pemerintah untuk mempersempit jurang kesejahteraan antarkelompok masyarakat itu, ketimpangan pendapatan bakal memicu kerawanan sosial.

Bahkan, kesenjangan kesempatan dinilai juga bisa mementahkan keuntungan dari bonus demografi yang diperkirakan memuncak pada 2025-2030. Pasalnya, berlimpahnya penduduk usia produktif (15-65 tahun) justru tidak mendapatkan akses pendapatan akibat sempitnya lapangan kerja.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Unggul Heriqbaldi, mengatakan profil pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini terpusat di Jawa dan sangat padat modal, pada akhirnya akan memicu kesenjangan ekonomi dan sosial antarwilayah di Tanah Air.

“Otomatis akan berdampak pada kesenjangan pendapatan yang kemudian melahirkan kesenjangan sosial. Dengan semakin timpangnya pendapatan, maka akses masyarakat terhadap pangan, sandang, papan dan layanan publik pun akan semakin timpang,” jelas dia ketika dihubungi, Senin (14/12).

Unggul menambahkan sifat pertumbuhan yang banyak didorong pola padat modal mengakibatkan keuntungan terbesar pertumbuhan akan diterima oleh pemilik modal yang umumnya adalah kelompok masyarakat dengan pendapatan tinggi.

“Semakin timpanglah ekonomi dan sosial. Disini peran pemerintah diperlukan. Satu adalah mendekatkan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan layanan lain pada masyarakat yang paling rentan.”

Kedua, lanjut dia, menciptakan skema perlindungan pada masyarakat miskin agar dapat hidup dengan standar hidup layak melalui program pemerintah seperti perbaikan sanitasi, gizi, dan pendidikan. Ketiga, mendorong swasta agar lebih banyak menggunakan tenaga kerja melalui insentif fiskal.

Meski pemerintah dikabarkan mengklaim terjadi penurunan tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat di Indonesia tahun ini, hingga Desember 2015 Rasio Gini turun ke 0,408 dari 0,413 sejak 2014. Namun, perkembangan Rasio Gini itu belum menggambarkan perbaikan di kalangan masyarakat terbawah. Hal ini didasarkan pada indikator konsumsi rumah tangga yang cenderung masih melemah. Rasio Gini yang makin tinggi, hingga puncaknya di angka 1, menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin lebar.

Menurut Bank Dunia selama 2003-2010, sebanyak 10 persen orang terkaya di Indonesia mempertambah konsumsi mereka sebesar 6 persen per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Akan tetapi, bagi 40 persen masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka hanya tumbuh kurang dari 2 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun, yaitu naik dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,41 tahun 2013.

Bank Dunia juga mencatat empat penyebab ketimpangan di Indonesia. Pertama, ketimpangan peluang, yakni ketimpangan akibat kedudukan dan pendidikan orang tua. Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya.

Kedua, ketimpangan pasar kerja. Ketimpangan ini terkait dengan pekerja yang terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil. Ketiga, konsentrasi kekayaan atau kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.

Sedangkan keempat, ketimpangan menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan ekonomi, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.

Menjadi Ancaman

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Agus Heruanto Hadna, mengingatkan dengan kinerja perekonomian seperti saat ini maka bonus demografi pada 2025-2030 di Indonesia justru akan menjadi ancaman, bukan keuntungan.

Bonus Demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.

“Demografi dengan mayoritas tenaga produktif baru akan menjadi bonus kalau lapangan pekerjaan terpenuhi, SDM terampil, sehat, dan tersebar merata. Kesehatan memang membaik, tapi soal lapangan pekerjaan, keterampilan, dan pemerataan masih menjadi masalah. Ini justru akan jadi ancaman,” kata Agus.

Ia mengungkapkan potensi kerawanan sosial dengan basis suku, antarkelompok, agama, dan golongan yang mudah sekali disulut kalau angka penduduk produktif ini tidak segera dicarikan ruangnya sejak sekarang. “Sebaiknya pemerintah fokus pada pemerataan dan peningkatan kualitas pertumbuhan,” jelas dia. [] YK/SB/WP

*Sumber: Koran Jakarta (15/12) | Ilustrasi ketimpangan/online.wsj