KONFERENSI ERCIP: Memicu Konflik Politik, Isu Agama Mudah dan Kerap Digunakan

22 Agustus 2014 | admin
Kegiatan, Konferensi / Seminar, Media, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Penguatan terhadap isu agama di Indonesia semakin tampak nyata dalam dekade terakhir. Di masa lalu, saat rezim otoritarian Orde Baru mengemuka, isu etnis mungkin lebih mengemuka dibandingkan isu agama. Namun, kini yang terjadi adalah penguatan terhadap kelompok-kelompok agama, khususnya yang beraliran fundamental.

Gerakan radikal ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah misalnya, semakin gencar dalam pemberitaan internasional. Oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Iran, Austria, bahkan Malaysia menyatakan ISIS sebagai ancaman. Indonesia pun demikian paska munculnya video yang dirilis ISIS yang mengajak kaum Muslimin di Indonesia untuk bergabung dengan kelompok mereka.

“Saya melihat, yang sebenarnya terjadi di dalam isu ISIS ini adalah penggunaan simbol agama di dalam konflik politik. Konflik yang terjadi sesungguhnya merupakan persoalan kekuasaan. Aksi kekerasan yang dilakukan ISIS seperti membunuh, memasung tentu bukan berdasar pada nilai-nilai agama. Agama apapun tidak membenarkan aksi pembunuhan,” ujar Dr. Sukamdi, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, saat Konferensi Ethno-Religious Conflicts in Indonesia and the Philippines (ERCIP) Programme, Kamis (21/8) di Auditorium PSKK UGM, Gedung Masri Singarimbun.

Sensitivitas terhadap agama seringkali menjadi alat. Sebagian masyarakat saat ini mudah dipengaruhi untuk bergabung dengan kelompok radikal tertentu atau bahkan mudah dipicu untuk berbuat kekerasan jika menyinggung unsur-unsur agama.

Sukamdi menambahkan, kegiatan dukungan terhadap ISIS yang dilakukan di dalam kampus beberapa waktu lalu pun menunjukkan, pendidikan saat ini tidak punya pengaruh yang cukup dalam mengatasi sikap-sikap eksklusif. Orang-orang muda yang mengenyam pendidikan tinggi pun bisa dengan mudah dipengaruhi oleh isu sensitif seperti agama, dan etnis. Kedua isu ini bahkan bisa membuat orang yang rasional menjadi irasional.

Hal serupa juga disampaikan oleh Y. Tri Subagya, Ph.D. (cand), Mahasiswa Program Doktor Radboud University Nijmegen, Netherland dalam kesempatan yang sama. Hasil penelitian disertasi yang dilakukannya di Ambon, dan Yogyakarta menunjukkan, ada penguatan identitas terhadap kelompok agama, dan kelompok etnis pada sikap orang-orang muda, khususnya mahasiswa. Namun, di Ambon penguatan identitas yang lebih menonjol terjadi pada kelompok-kelompok agama.

Tri mengatakan, penelitian yang dilakukannya ini fokus terhadap sikap atau persepsi individu terhadap kekerasan. Ada hasil temuan penelitian yang baginya menarik. Pada studi-studi sebelumnya mengatakan orang yang pluralis bisa menerima perbedaan keyakinan orang lain. Sikap mereka terhadap kekerasan pun cenderung semakin rendah. Namun, dalam studinya ini tidaklah demikian.

“Temuan saya menunjukkan, sikap terhadap kekerasan justru semakin tinggi atau positif. Orang bisa saja melabelkan dirinya sebagai pluralis atau mungkin memiliki pandangan yang pluralis. Tapi, tidak berarti sikapnya juga pluralis, tidak serta merta menjadikan orang tidak mendukung kekerasan,” ujar Tri.

Persoalan kekerasan pada akhirnya tidak semata-mata didukung oleh pandangan keagamaan. Tri menambahkan, yang terjadi kemudian adalah konflik kepentingan. Ada bukti-bukti yang menunjukkan, konflik terjadi karena kompetisi terhadap penguasaan sumber daya alam meskipun identifikasi agama yang lebih terlihat karena menjadi alat mobilisasi untuk mendorong terjadinya kekerasan.

Selain topik mengenai sikap individu terhadap kekerasan, topik tentang fenomena contact avoidance di Indonesia juga menjadi bahasan yang menarik di dalam konferensi yang berlangsung dalam dua hari ini. Cahyo Pamungkas, Ph.D. (cand), yang juga terlibat dalam program penelitian ERCIP ini mengatakan, ada fenomena untuk menghindari pertemuan atau bersinggungan dengan orang dari kelompok yang berbeda.

Contact avoidance bisa diartikan, sejauh mana seseorang menerima atau menolak orang lain yang berbeda agama untuk mendudukan posisi atau jabatan-jabatan publik, atau untuk bertetangga, untuk menjadi rekan kerja, atau untuk menjadi teman dekat. Maka, yang dilihat adalah jarak sosial atau social distance antara individu yang satu dengan yang lain,” jelas Cahyo.

Ternyata hasil studi yang juga dilakukan terhadap mahasiswa di Ambon, dan Yogyakarta menunjukkan, mahasiswa beragama Islam di kedua kota tersebut banyak yang menolak apabila posisi atau jabatan publik seperti bupati, dan walikota dipegang oleh orang yang beragama Kristen. Ada 32 persen mahasiswa muslim tidak menerima atau menolak. Sikap penolakan pun terjadi pada mahasiswa kristiani meski persentasenya jauh lebih kecil, yakni 7 persen.

“Mereka relatif lebih menerima jika itu hanya untuk berteman, bertetangga atau menjadi rekan kerja. Temuan ini memang berbeda dengan temuan yang ada di Belanda atau negara Eropa lainnya. Orang-orang Eropa justru lebih menerima jika suatu jabatan publik dipegang oleh mereka yang berbeda agama atau etnis. Namun, relatif tidak menerima jika harus bertetangga,” ujar Cahyo. [] Media Center PSKK UGM

——————————

Tentang ERCIP Programme

ERCIP atau Ethno-Religious Conflict Programme in Indonesia and the Philippines adalah sebuah kelompok penelitian yang berada di bawah Nijmegen Institute for Social Cultural Research (NISCO), Radboud University Nijmegen, Netherland. Mulai 2011 lalu tim peneliti ERCIP melakukan studi konflik di dua wilayah, yakni di Indonesia dan Filipina. Sampling penelitian yang dipilih adalah para mahasiswa di beberapa perguruan tinggi.

Di Indonesia, ada dua wilayah yang menjadi lokasi penelitian, yakni Yogyakarta, dan Ambon. Di Yogyakarta, responden yang dipilih adalah mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana. Responden di Ambon adalah mahasiswa dari Universitas Negeri Patimura, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, dan Universitas Kristen Indonesia Maluku. Sementara di Filipina, penelitian dilakukan di dua wilayah, yakni Metro Manila, dan Mindanao. Responden yang terlibat, antara lain mahasiswa dari University of the Philippines, Santo Tomas University, Mindanao State University (MSU-IT Iligan), Notre Dame University (Cotabato), dan lainnya.

*Info lebih lanjut mengenai program ini silakan klik: Ethno-Religious Conflicts in Indonesia and the Philippines: A Comparative Study