KEPENDUDUKAN: Ubah Paradigma Pembangunan Lansia | KOMPAS

05 Juni 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Jakarta, KOMPAS – Meski penduduk di sejumlah provinsi dan kabupaten atau kota mulai menua, paradigma pembangunan penduduk lanjut usia di Indonesia belum banyak berubah. Lansia masih dianggap kelompok lemah, tak produktif, dan butuh bantuan, bukan sebagai aset yang masih bisa diberdayakan.

Seiring bertambahnya jumlah lansia, membaiknya mutu hidup dan layanan kesehatan, kian banyak lansia sehat dan produktif. Jadi, kebijakan yang memandang lansia hanya jadi beban, kelompok yang butuh dikasihani, tak bisa diterapkan penuh. Kini, banyak lansia perlu diberdayakan.

“Pemberdayaan lansia harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi lansia berbeda, yang masih produktif atau butuh perawatan,” kata ahli kependudukan dari Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi, Selasa (30/5).

Tidak termanfaatkannya lansia yang potensial itu dipicu penanganan lansia yang terpisah di sejumlah kementerian dan lembaga, tanpa ada koordinasi. Akibatnya, tekanan kebijakan penanganan lansia terfokus pada lansia yang butuh bantuan, lansia dengan masalah kesejahteraan sosial, dan kesehatan lansia.

“Belum ada lembaga yang mengurusi ketenagakerjaan lansia,” kata peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Lilis Heri Mis Cicih.

Namun, model pemberdayaan lansia untuk tetap bekerja itu perlu disiapkan secara matang oleh pemerintah agar tak berbenturan dengan nilai dan norma di masyarakat. Konsep pemberdayaannya harus memperhatikan kaum muda agar tak menimbulkan kecemburuan sosial.

Di sejumlah negara, lansia dipekerjakan di sektor yang kurang diminati kaum muda. Di negara dengan sistem jaminan hari tua, lansia diberdayakan untuk kerja sukarela agar hubungan sosial terjaga. Model itu belum tentu tepat dilaksanakan di Indonesia.

Masih parsial

Sejumlah daerah dengan penduduk lansia besar, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki peraturan daerah untuk menopang kesejahteraan lansia. Namun, penerapan kebijakan itu bersifat parsial, sebatas ada program, bahkan hanya seremonial.

Selain mengubah paradigma negatif pembangunan lansia, pemerintah harus mewujudkan kepedulian nyata pada lansia. “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia perlu direvisi agar pembangunan lansia terintegrasi dan berdaya,” kata Lilis.

Selain aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesehatan, lanjut Sukamdi, pemerintah harus bersiap menghadapi perubahan nilai dan norma masyarakat memandang lansia agar kebutuhan sosial lansia terpenuhi. Makin banyak lansia tinggal sendiri dan terpisah dari anaknya.

Dalam masyarakat tradisional, lansia tinggal sendiri umumnya ditopang warga sekitar. Namun, seiring masyarakat kian individual, pola itu tak bisa diandalkan. “Perlu dibuat sistem agar lansia tidak kesepian. Soal psikologis lansia berdampak besar pada fisiknya,” kata Sukamdi.

Dengan kuatnya penolakan pada konsep panti jompo, pemerintah perlu menggagas model komunitas ramah lansia, seperti pesantren lansia atau pusat kegiatan agar lansia aktif. Komunitas itu harus dilengkapi sarana publik agar lansia tetap bisa beraktivitas mandiri. [] (MZW)

*Sumber: Kompas, 31 Mei 2017 Hal. 13 Rubrik Iptek, Lingkungan & Kesehatan | Ilustrasi lanjut usia ANTARA FOTO/beritadaerah.com