KEMISKINAN ASIMETRIS | Oleh: Agus Heruanto Hadna

26 April 2016 | admin
Essay & Opinion, Media

Harian Kedaulatan Rakyat – Menurut konstitusi/UUD 1945, negara mempunyai mandat untuk memajukan kesejahteraan umum. Sebagai anggota komunitas global, Indonesia dituntut untuk berperan aktif dalam pencapaian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals), di antaranya mengakhiri kemiskinan dan mengurangi ketimpangan.

Data menunjukkan, bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada dekade 1970-an, tingkat kemiskinan saat ini telah mengalami penurunan yang signifikan. Namun, penurunan tingkat kemiskinan mengalami pelambatan dalam satu dekade terakhir. Bahkan kemudian mengalami kenaikan di awal tahun 2015. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2015 tingkat kemiskinan masih 11,22 persen atau sebanyak 28,59 juta orang. Lebih tinggi dibandingkan dengan data semester sebelumnya (September 2014) yang sebanyak 27,73 juta atau 10,96 persen.

Tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi mengindikasikan bahwa ada masalah dengan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Permasalahannya adalah pada pemahaman dan parameter kemiskinan yang terlalu mengandalkan pada dimensi moneter. Kemiskinan juga harus dilihat secara komprehensif dan beragam (asymmetric poverty).

Salah satu teknik yang pernah dikembangkan adalah Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) oleh Perkumpulan Prakarsa bersama Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) Universitas Oxford. Metode ini lahir karena ketidakpuasan terhadap pengukuran kemiskinan dengan pendekatan moneter, seperti tingkat pendapatan, yang selama ini dominan. Dalam IKM, kemiskinan juga mencakup kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, serta kualitas hidup yang memadai. Berdasar metode tersebut, kemiskinan di Indonesia di tahun 2014 sebesar 29,7 persen. Meski trennya sama-sama menurun, namun terdapat selisih yang signifikan bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan berdasar data BPS yang sebesar 10,96 persen (September 2014).

Di samping tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, tingkat ketimpangan di Indonesia saat ini juga cukup tinggi, bahkan cenderung meningkat. Menurut data BPS, bila di tahun 1999 rasio Gini Indonesia masih sebesar 0,31, dalam perkembangan selanjutnya mengalami peningkatan hingga mencapai 0,41 pada tahun 2014 lalu.

Tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Menurut Bank Dunia (2015), pada 2002 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya sama banyaknya dengan total konsumsi dari 42 persen penduduk termiskin. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 2014 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya tersebut telah sama banyak dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin. Dalam rentang tahun 2003 hingga 2010, konsumsi per kapita bagi 10 persen penduduk terkaya di Indonesia mengalami kenaikan lebih dari 6 persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi. Sementara konsumsi dari 40 persen penduduk termiskin hanya mengalami kenaikan kurang dari 2 persen per tahun.

Ada kecenderungan kelompok miskin semakin tertinggal dalam menikmati hasil pembangunan dibandingkan dengan kelompok menengah ke atas. Beberapa provinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi mengalami kenaikan angka kemiskinan cukup tinggi seperti Bali, Sulawesi Utara, DKI dan DIY ternyata rasio Gini di keempat daerah tersebut cukup tinggi, yakni rata-rata di atas 0.41.

Untuk merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif, maka definisi dan parameter kemiskinan yang tepat sangat dibutuhkan. Kemiskinan harus dipahami dalam konsep multidimensi. Parameter yang harus diperhitungkan adalah ketimpangan penguasaan aset, dan sosio-kultur. Ketimpangan tidak hanya dimaknai ketimpangan dalam opportunity (akses), tetapi melihat kecenderungan naiknya rasio Gini harus dipertimbangkan ketimpangan penguasaan aset secara fair. Dimensi sosio-kultur yang relevan adalah pada tingkat pemahaman dan tindakan sesuai nilai-nilai modal sosial yang berlaku seperti gotong royong, fighting spirit, pengetahuan dan penggunaan alat untuk meningkatkan produksi, kekerabatan, partisipasi dan gender.  

Selain parameter, hal penting yang perlu dikembangkan adalah metode pengukuran yang merakyat. Dalam perumusan kriteria dan pengumpulan datanya perlu melibatkan perspektif dan dinamika masyarakat miskin serta komunitasnya (people can count). Misalnya menyangkut pandangan masyarakat miskin sendiri mengenai definisi, sebab, dan akibat dari kemiskinan yang dialami. Juga menyangkut penilaian atas aset, potensi, dan spirit yang dimiliki warga miskin sebagai modal bagi mereka untuk menjadi sejahtera. Dengan metode ini, pemahaman terhadap kemiskinan tidak sekadar bersifat multidimensi, namun juga beragam menurut perspektif dari masyarakat miskin sendiri (asymmetric poverty). Identifikasi dan pengukuran terhadap kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan asimetris ini akan semakin komprehensif dan tajam, sehingga pada akhirnya tata kelola kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang dihasilkan lebih kontekstual. (*)

*Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat (9/4) | Ilustrasi kemiskinan/berita daerah