KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: Tantangan dan Peluang di Era Komunikasi Digital

08 Desember 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT; information and communications technology) telah membawa dunia pada wajah yang teramat berbeda. Miliaran orang di seluruh dunia dapat terhubung satu sama lain dengan mudah.

Data International Telecommunication Union—Badan Khusus Teknologi Informasi dan Komunikasi PBB—menyebutkan, pada 2015 ada lebih dari 7 miliar pelanggan seluler di seluruh dunia. Jumlah ini meningkat kurang dari 1 miliar pada 2000. Sementara secara global, ada 3,2 miliar orang yang menggunakan internet, yang 2 miliar di antaranya berasal dari negara-negara berkembang. Lebih lanjut, perkembangan data terbaru (2017) juga menyebutkan, di 104 negara, ada lebih dari 80 persen penduduk usia remaja yang memiliki akses online. Di negara-negara berkembang, jumlah itu bahkan mencapai 94 persen penduduk muda usia 15-24 tahun.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si. menyampaikan, para pengambil kebijakan publik perlu melihat tren teknologi informasi dan komunikasi sebagai tantangan sekaligus peluang. Kemudahan teknologi di satu sisi juga memunculkan tuntutan publik akan akselerasi atau kecepatan untuk direspon.

“Model advokasi konvensional lambat laun terancam karena penduduk kita saat ini dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang tak jarang justru lebih cepat daripada pemerintah,” kata Hadna dalam Seminar Refleksi Akhir Tahun Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah DIY di The Rich Jogja Hotel, Selasa (5/12).

Selain itu, komunikasi yang dewasa ini cenderung dapat berjalan secara langsung, juga semakin menghilangkan fungsi dan peran agen “perantara” atau intermediasi. Melemahnya fungsi intermediasi dari lembaga pemerintah secara langsung turut melemahkan fungsi fasilitasinya. Di dalam konteks kebijakan kependudukan misalnya, apakah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) masih akan memainkan perannya sebagai fasilitator dalam pemberdayaan keluarga?

Melemahnya fungsi intermediasi tidak hanya terjadi pada lembaga-lembaga pemerintahan, melainkan juga pada lembaga-lembaga politik seperti parlemen dan partai-partai politik. Untuk itu, Hadna menyampaikan, BKKBN harus memiliki perubahan strategi komunikasi politik dengan lembaga politik. Misalnya, melakukan agenda setting dengan model goes viral yang dalam hitungan detik bisa memperoleh perhatian publik melalui saluran-saluran digital. Banyak kini lembaga pemerintahan baik nasional maupun daerah yang sudah aktif di saluran digitalnya.

Penduduk atau citizen pun saat ini bisa menilai secara langsung kinerja lembaga-lembaga pemerintah, tak terkecuali yang bergerak di bidang kependudukan. Penduduk juga dimungkinkan untuk mendapatkan informasi sekaligus akses layanan kependudukan secara langsung dari penyedia layanan. Tak hanya itu, kemungkinan pengambilan keputusan secara langsung tentang masalah-masalah kependudukan yang sensitif oleh citizen juga meningkat, misalnya melalui melalui voting, referendum.

“Munculnya sikap kritis ini perlu direspon dengan cepat, namun juga tepat untuk menumbuhkan serta menjaga kepercayaan publik. Jika tidak, yang akan muncul hanyalah sikap distrust,” kata Hadna lagi.

Secara khusus, dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketimpangan, prinsip komunikasi langsung (direct communication) yang ditawarkan oleh teknologi digital sebetulnya juga dapat digunakan. Diseminasi informasi dan pengetahuan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rumah tangga miskin dapat dilakukan melalui kanal-kanal digital yang tepat, sesuai dengan target audiensnya.

Hadna menambahkan, semakin menyebarnya (difusi) penggunaan teknologi informasi dan komunikasi antarkawasan akan meningkatkan pemerataan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat untuk mengatasi kemiskinan. Lebih jauh, dapat memacu pencapaian bonus demografi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) secara merata antarkawasan.

“Kualitas pendidikan tidak lagi hanya diukur dari lamanya sekolah, tetapi juga oleh tingkat penguasaan informasi dan pengetahuan. Begitu pula dengan kesehatan yang semakin dipengaruhi pula oleh kemampuan citizen mengakses pengetahuan tentang jenis penyakit, metode pencegahan hingga pengobatannya,” jelas Hadna. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pengguna handphone/istimewa