FLUKTUASI HARGA: Pentingnya Jaring Pengaman Sosial Bagi Petani

13 Januari 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah tidak bisa serta-merta menyebut cuaca sebagai faktor utama dari kenaikan harga cabai belakangan ini. Intensitas curah hujan yang tinggi disebut menahan petani untuk melakukan panen. Sebagai perishable food, cabai dikhawatirkan akan semakin cepat busuk dalam kondisi udara lembab.

Pakar Kebijakan Pangan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijan Universitas Gadjah Mada, Dr. Evita Hanie Pangaribowo, MIDEC menyampaikan, kasus naiknya harga cabai perlu dilihat dari berbagai aspek. Jika pemerintah mengklaim bahwa ini terkait cuaca, maka hanya aspek produksi yang dilihat. Padahal, persoalan harga terkait dengan banyak aspek terutama rantai distribusinya.

Pemerintah sebetulnya bisa memetakan hulu hingga hilir distribusi bahan pangan agar lebih mudah mengidentifikasi titik apa yang paling mempengaruhi kenaikan harga. Selanjutnya, menentukan bentuk intervensi yang tepat guna menstabilkan harga cabai. Bukan hanya dari aspek produksi, mengingat pasokan cabe rawit secara nasional sebetulnya masih surplus. Kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 68 ribu ton, sementara total produksinya masih aman di angka 73 ribu ton.

“Kita tidak tahu siapa sebetulnya yang paling mendapatkan keuntungan dari ini. Jika harga cabai tinggi, seharusnya petani bisa meraup untung yang lebih dari biasanya. Tapi, ini tidak demikian,” kata Evita.

Evita kembali mengatakan, jika pemerintah bersikukuh bahwa ini merupakan persoalan cuaca, maka pemerintah pun seharusnya memikirkan mekanisme yang tepat untuk membantu petani menghadapi perubahan cuaca. Hasil pertanian memang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Saat cuaca ekstrim, gagal panen bisa saja terjadi dan ini merupakan pukulan telak bagi para petani. Beberapa bahkan ada yang sampai harus menjual aset untuk menutup kerugian.

Belakangan, banyak studi yang membahas tentang agricultural insurance atau weather insurance sebagai salah satu bentuk jaring pengaman sosial bagi para petani. Mekanisme asuransi diterapkan guna menghindarkan petani dari kerugian yang lebih karena kondisi yang rentan dan tidak pasti. Selain itu, asuransi juga bisa menjadi katalisator seperti pemberi pinjaman modal bagi petani untuk meningkatkan produktivitasnya.

Evita menceritakan, beberapa negara seperti India, Ghana, dan Ethiopia sudah menerapkan program ini meski masih dalam tahap proyek percontohan (pilot project). Hasil studi pemantauan dan evaluasi menunjukkan, ada perubahan perilaku petani setelah dia mengikuti program asuransi. Di India misalnya, para petani mulai berani untuk beralih menanam tanaman yang berisiko terhadap curah hujan. Kekhawatiran mereka berkurang dan harapan untuk mendapatkan nilai jual lebih tinggi bertambah.

“Jika pola ini mau diadopsi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sektor swasta yang bergerak di jasa asuransi. Memang tidak mudah mendorong investasi di bidang ini karena less profitable atau keuntungannya kecil,” jelas Evita.

Namun begitu, kebijakan ini bisa ditempuh karena memiliki efek keberlanjutan atau sustainable. Pemerintah bisa berperan untuk mencari potensi kerja sama dalam rangka membangun jaring perlindungan bagi petani. Langkah ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan mengatur harga bahan pokok. Karena meski sudah diatur oleh pemerintah, seringkali pada prakteknya harga tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Petani mendapatkan harga yang berbeda-beda. Konsumen pun demikian karena mata rantai distribusi yang berbeda-beda.

Mewaspadai bertambahnya jumlah penduduk miskin

Kenaikan harga cabai di pasaran yang jauh melampaui harga daging sapi jelas sangat mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Bagi sebagian rumah tangga, cabai menjadi kebutuhan yang inelastis. Artinya, jika terjadi kenaikan harga, rumah tangga cenderung tidak akan menurunkan permintaannya. Ini kemudian berdampak negatif terhadap pendapatan. Masyarakat terpaksa membayar lebih tinggi karena sulit untuk mendapatkan komoditas pengganti atau substitusi.

“Bagi sebagian lagi, cabai bisa jadi komoditas yang elastis. Adanya kenaikan harga membuat mereka mengurangi hingga meniadakan konsumsi cabai. Ini utamanya terjadi pada rumah tangga miskin,” kata Evita.

Berangkat dari kasus melambungnya harga cabai, bagi Evita, pemerintah perlu menjaga betul harga pangan sehingga inflasi tidak tinggi dan daya beli masyarakat tidak terganggu. Terlebih, di waktu yang hampir bersamaan, sejumlah harga-harga yang diatur oleh pemerintah (administered price) seperti tarif listrik, bahan bakar minyak, cukai rokok, hingga biaya administrasi surat kendaraan bermotor juga mengalami kenaikan.

Kenaikan harga memungkinkan bertambahnya jumlah orang miskin. Mereka yang sebelumnya tergolong tidak miskin namun rentan, bisa turun menjadi kategori miskin karena daya belinya berkurang. Evita mengingatkan, satu hal yang perlu diwaspadai pula adalah consumption smoothing. Rumah tangga terpaksa mengurangi bahkan memilih untuk tidak mengkonsumsi kebutuhan pangan yang penting bagi kesehatan mereka.

“Dampaknya bisa panjang karena mempengaruhi status gizi. Misalnya seorang anak yang seharusnya dalam seribu hari kehidupan mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, terpaksanya tidak terpenuhi karena daya beli orang tuanya yang rendah,” jelas Evita. [] Media Center PSKK UGM | Photo komoditas cabai rawit di pasar tradisional/jurnal asia