PERLINDUNGAN KTD DI RUMAH AMAN: Kegagalan Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi?

22 Juli 2010 - 15:29:32 | admin

Kehadiran shelter hingga saat ini masih dibutuhkan. Kehadiran shelter merupakan salah satu alternatif untuk melindungi perempuan dari ancaman berikutnya yaitu perlakuan yang tidak menyenangkan dari anggota keluarga atau komunitasnya. Perlakuan yang tidak menyenangkan itu menyebabkan klien enggan beraktivitas dengan lingkungan termasuk tidak bersedia ke klinik utntu melakukan pemeriksaan. Sikap pertugas klinik bersalin atau rumah sakit yang lebih mementingkan prosedural itu menjadikan klien merasa tidak nyaman. Harus berkali-kali menjelaskan siapa sesungguhnya klien karena dalam lembar anemnese yang sudah sangat rigit itu tidak tertera kemungkinan perempuan hamil di luar nikah. Maka kadang klien lebih memilih untuk terbuka siapa sesungguhnya dia walau sangat berat, namun tidak jarang juga yang pada akhirnya menuai empati. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang para medis, “… kasihan ya, siapa sangka orang secantik itu menjadi korban KTD, kok tega ya..” bila dicermati ungkapan ini mengandungi makna bahwa yang bisa menjadi korban KTD adalah perempuan yang bukan cantik.

Keterbukaan klien membutuhkan kesiapan, menurut konselor pada awalnya konselor selalu memback-up agar klien KTD tidak mengutarakan KTD nya, dengan melakukan mengaku saudara. Namun pada akhirnya karena konselor tidak mungkin menunggui satu kali 24 jam di rumah sakit dan paramedis cenderung melakukan komunikasi dengan pasien secara langsung, maka pilihan terbuka atau menyembunyikan diserahkan kepada klien. Bagi klien yang siap secara mental maka dianggap hal yang biasa, bahkan penuh gurauan “iya saya gaulnya kebablasan, gak bisa ngerem, ya hamil “(jp). Tetapi bagi klien yang merasa tidak siap, yang muncul adalah keresahan dan tidak sedikit yang menggerutu “duh berapa ya perawatnya disini, karena saya harus menyiapkan jawaban yang sama nieh..takut kalau salah jawab ketahuan kan bu..”

Dari berbagai cerita klien, terungkap bahwa pada awalnya kehadirannya ke klinik atau ke dokter dan bidan adalah untuk menghentikan kehamilannya. Informasi yang simpang siur atau tidak jelas dan tegas, bahkan tidak sedikit pertugas medis yang mencoba memberi obat agar janinnya keluar pada akhirnya juga tidak keluar menjadikan klien makin was-was. Pada akhirnya dirujuk ke klinik PKBI dalam usia kehamilan yang sudah tidak mungkin dibantu dengan berbagai alasan teknis dan adminstrasi. Jika harus dirujuk ke tempat layanan yang lain, selain mahal juga akan mengancam nyawa perempuan tersebut. Dan solusi yang paling dekat dan realistis adalah tinggal di shelter. Apabila demikian maka kehadiran shelter merupakan indikasi gagalnya pemenuhan hak reproduksi bagi perempuan yang mengalami KTD.


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.364 – Budi Wahyuni | 22 Juli 2010