PEMBANGUNAN BERWAWASAN KEPENDUDUKAN: Pembangunan Manusia Indonesia Perlu Mengintegrasikan PBK

20 November 2014 | admin
Events, Media, Workshop

Yogyakarta, PSKK UGM – Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK) Daerah Istimewa Yogyakarta menurut uji coba pengukuran indeks yang dilakukan pada 2012 lalu dinilai baik, yakni 0,61. Angka tersebut bahkan tertinggi di atas rata-rata nasional, yakni 0,503. Menyusul kemudian di bawahnya, Provinsi Bali dengan indeks 0,59 serta Provinsi Bangka Belitung, dan DKI Jakarta yang memiliki angka indeks sama, yakni 0,56.

Ada 17 provinsi yang memiliki angka indeks di atas angka indek nasional. Namun, masih cukup banyak provinsi yang indeksnya belum memuaskan, antara lain Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan lainnya.

Hal itu disampaikan oleh Agus Joko Pitoyo, M.A., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat “Workshop Penyusunan Tata Kelola Pembangunan Berbasis Pada Kependudukan di Kabupaten Kepulauan Talaud”, beberapa waktu lalu di Ruang Pertemuan II, Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur.

Joko mengatakan, ada 11 variabel penyusun indeks yang harapannya bisa menjadi indikator nasional untuk mengukur pembangunan Indonesia yang berwawasan kependudukan. Kesebelas variabel tersebut, antara lain angka prevalensi kontrasepsi (CPR), pelayanan bagi ibu selama masa kehamilan (antenatal), imunisasi, Angka Partisipasi Sekolah (APM), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), persentase luas areal hutan, persentase limbah tradisional, persentase APBD pendidikan, persentase APBD kesehatan, persentase alokasi anggaran pemberdayaan perempuan, dan TPAK perempuan.

“Bagaimana kemudian agar bisa meningkat? Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap sebelas variabel penyusun IPBK tadi yang berkaitan dengan anggaran pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, partisipasi sekolah. Ini perlu ditata dengan baik bahkan jika diperlukan, ada pendampingan ke arah sana,” ujar Joko.

Sebelas variabel penyusun IPBK menurut Joko merupakan turunan dari lima dimensi di dalam pembangunan berwawasan kependudukan. Pertama, integrasi, yakni terintegrasinya model pembangunan berdasarkan data-data kependudukan. Kedua, partisipasi karena penduduk merupakan subjek, dan memiliki partisipasi di dalam pembangunan. Ketiga, pro people, yakni penduduk sebagai objek harus bisa merasakan hasil-hasil dari pembangunan. Keempat, pembangunan berkelanjutan (sustainability development), dan kelima adalah kesetaraan.

IPBK tidak hanya bicara tentang aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan seperti dimensi di dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). IPBK juga mencermati aspek kesetaraan serta aspek pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Meski begitu, hasil studi ini menunjukkan, IPBK memiliki korelasi positif dengan HDI. Agar HDI bagus, kualitas pembangunan manusia di suatu wilayah dikatakan baik, maka proses pembangunan perlu untuk mengintegrasikan Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK).

“Ke depan, PBK perlu menjadi dasar di dalam pembangunan. Ini juga penting untuk terus diwacanakan karena berada di level proses yang akan memengaruhi pembangunan manusia. Keberhasilan pembangunan di dalam pembangunan berwawasan kependudukan akan memengaruhi keberhasilan di dalam pembangunan manusia,” jelas Joko.

Di tingkat internasional, PBK telah menjadi dasar pembangunan di semua negara di dunia. Ini bermula pada Konferensi Kependudukan Dunia (ICPD) di Kairo pada 1994 yang memunculkan kesepakatan tentang people centered development atau pembangunan berwawasan kependudukan (PBK). Kesepakatan ini akan dievaluasi pada 2015, maka muncul kemudian istilah Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs.

Joko menambahkan, jika ingin mencapai MDGs maka jangan sampai meninggalkan isu pembangunan berwawasan kependudukan. “Jadi MDGs itu merupakan akhir dari tujuan pembangunan kependudukan. Tiap-tiap negara harus menempatkan isu kependudukan sebagai basis dari pembangunan.” [] Media Center PSKK UGM / Photo: Istimewa