Dibanding Negara Lain, E-KTP Masih Tertinggal | Berita Satu

14 Maret 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Jakarta, Berita Satu – Guru Besar Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Wahyudi Kumorotomo menilai, program e-KTP yang menuju penerapan single identity number (SIN) belum bisa dibandingkan dengan Social Security Number di Amerika Serikat, MyKad di Malaysia, bahkan e-ID di Thailand. ID elektronik kewarganegaraan Malaysia, sudah memuat informasi surat izin mengemudi, data kesehatan, dan informasi keuangan, dan 30 aplikasi lainnya. Semua itu ditampung dalam sebuah memory chip berkapasitas 64 kilobytes.

Begitu juga dengan e-ID warga Thailand, sudah memuat daftar riwayat kesehatan, dan informasi kependudukan lainnya. “Di Portugal pun juga demikian, memuat riwayat perpajakan, layanan kesehatan, bahkan hingga untuk kepentingan pemilu,” ungkapnya.

Sedangkan e-KTP di Indonesia, pendataan penduduk selalu menjadi masalah. Faktanya, pada tahun 2008, pernah ditemukan 88.000 lebih KTP palsu di DKI Jakarta, lebih dari 25 juta kebocoran data identitas pengguna telepon seluler, dan hampir semua kasus fraud (pemalsuan) menggunakan identitas palsu, termasuk pajak, imigrasi, kepabeanan, dan pencucian uang.

“Semua persoalan terkait perolehan suara dalam pilkada dan pemilu masih saja terjadi dan sangat mungkin dilakukan melalui pemalsuan data KTP. Bisakah ini dicegah dengan e-KTP?” ucapnya.

Menurutnya, keberhasilan pemanfaatan e-KTP, juga bergantung pada transparansi rekam jejak pribadi baik data kelahiran, catatan kriminal, sampai kewajiban pada negara (pajak), perolehan hak warga (jaminan sosial, pensiun), layanan publik (pendidikan, kesehatan, perizinan, transportasi) hingga jaminan perlindungan data.

Wahyudi mengakui, pembuatan e-KTP yang mengarah pada SIN memang sangat strategis untuk sistem pelayanan publik yang terintegrasi. Namun dalam kenyataannya, e-KTP di Indonesia belum mampu memuat keseluruhan data yang dibutuhkan, bahkan dengan kapasitas penyimpanan data yang terbatas sebagai basis SIN belum diperhitungkan, validasi data kurang sistematis. “Integrasi database dengan sektor lain yakni imigrasi, pajak, kepolisian, asuransi, dan perbankan, kurang jelas. Belum jelas program SIN untuk jangka panjangnya,” ujarnya.

Tujuan semula bahwa NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang berlaku secara nasional sebagai SIN dengan menggunakan teknologi komputer dan basis data yang integratif, belum tercapai. “Belum terjadi format kebijakan yang konsisten, misalnya soal validasi data, dan perubahan status kependudukan,” jelasnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Agus Heruanto Hadna mengatakan, jangan sampai kasus korupsi e-KTP mempengaruhi kinerja kementerian maupun dinas terkait di dalam memberikan pelayanan KTP elektronik kepada masyarakat.

Pelayanan kepada masyarakat harus tetap dilakukan secara profesional. Cakupan perekaman KTP eletronik perlu terus diperluas. Bagaimanapun, basis data kependudukan yang tunggal melalui KTP elektronik merupakan kebutuhan mendesak.

Di sisi lain, selama ini warga Indonesia memiliki banyak kartu identitas, karena itu semangat SIN juga harus dimulai dari akta kelahiran. Dengan begitu, setiap penduduk Indonesia hanya punya satu kartu identitas diri.

“Jadi setiap penduduk di Indonesia memiliki hanya satu identitas diri untuk seluruh keperluannya, dari sejak lahir hingga meninggal dunia,” katanya.

Mekanismenya dapat dilakukan dengan memberikan satu kartu identitas atau single identity card (SIC) kepada setiap bayi yang baru lahir. Artinya, Hadna menjelaskan, pemberian SIC kepada bayi baru lahir disatukan dengan pemberian akta kelahiran.

“Jadi, sejak lahir setiap bayi di Indonesia sudah memiliki SIC yang sekaligus didalamnya merupakan akta kelahiran bayi tersebut yang terus digunakan secara berkesinambungan,” ujarnya.

Dengan demikian, konsep SIN akan tercapai, dan pemerintah memiliki database tentang jumlah bayi baru lahir di Indonesia, sekaligus juga telah melakukan pendataan SIC bayi tersebut.

Sementara itu, bagi penduduk yang telah lahir sebelumnya maupun yang telah memiliki e-KTP, maka pendataan dilakukan dengan menyatukan nomor induk pada akta kelahiran dengan e-KTP penduduk tersebut.

Penggabungan identitas tersebut, menurutnya akan memangkas biaya pembuatan berbagai identitas penduduk lainnya, seperti biaya pembuatan buku tabungan, buku asuransi, buku kesehatan, dan yang lainnya.

“Penduduk Indonesia memiliki banyak sekali kartu identitas, mulai dari akta kelahiran, kartu pelajar, kartu tabungan, e-KTP, dan yang lainnya. Bahkan, acapkali pemerintah tidak bisa memantau perkembangan penduduknya sebelum berusia 17 tahun, karena belum memiliki KTP,” katanya. []

*Sumber: Berita Satu | Photo: Aksi dukungan terhadap KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi e-KTP/antarafoto