Desain Ulang Kependudukan | KOMPAS

31 Juli 2017 | admin
Arsip Media, Berita PSKK, Main Slide, Media

Wacana Pelonggaran Kelahiran Berisiko Besar

Jakarta, KOMPAS – Pertumbuhan penduduk Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Karena itu, wacana mengkaji ulang program dua anak perlu dicermati hati-hati. Perencanaan salah akan membuat Indonesia masuk dalam jebakan negara dengan pendapatan menengah.

Penduduk akan tumbuh seimbang jika angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang menunjukkan jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur mencapai 2,1 anak. Itu berarti jumlah penduduk yang lahir dan meninggal sama. Struktur penduduk seimbang diperkirakan dicapai Indonesia pada 2025. Pada 2015, TFR Indonesia mencapai 2,28 anak setelah sejak 2001-2012 stagnan di 2,6 anak.

“Perencanaan penduduk ke depan tidak cukup hanya menggunakan data angka kelahiran total (TFR),” kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna, ketika dihubungi, Minggu (30/7). Persoalan migrasi, kemampuan memenuhi pangan, energi, hingga daya dukung lingkungan harus diperhitungkan.

Sebelumnya, dalam peringatan Hari Kependudukan Dunia, 11 Juli, di Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan pertanyaan Presiden Joko Widodo apakah program dua anak masih relevan? Bagaimana pula dampaknya bagi persaingan ekonomi ke depan?

Pemerintah khawatir, saat 100 tahun merdeka pada 2045, Indonesia akan bernasib sama seperti negara-negara maju, yaitu melonjaknya penduduk tua dan kurangnya angkatan kerja produktif. Karena itu, perlu dipikirkan memperpanjang bonus demografi dan menjaga agar TFR stabil di 2,1 karena muncul kecenderungan turunnya keinginan keluarga Indonesia untuk punya anak banyak.

Memperpanjang bonus demografi bisa dilakukan dengan menjaga TFR tetap tinggi. Semula puncak atau jendela peluang bonus demografi Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020-2030. Namun, karena TFR selama lebih satu dekade bertahan di 2,6, puncak bonus diperkirakan mundur pada 2020-2040.

Panjangnya puncak bonus demografi belum tentu menguntungkan karena investasi pemerintah untuk penduduk usia muda akan tetap besar. Itu membuat investasi untuk penduduk usia produktif dan lansia sulit bertambah signifikan. Konsekuensinya, upaya mendorong angkatan kerja dan lansia produktif di masa depan sulit dilakukan hingga bonus demografi bisa berubah jadi bencana demografi.

Berbasis wilayah

Meski secara nasional TFR masih tinggi, TFR di tujuh provinsi pada 2015 sudah di bawah 2,1 yaitu DI Yogyakarta (1,74), Jawa Timur (1,79), DKI Jakarta (1,89), Bali (1,92), Jawa Tengah (2,06), serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (2,09).

Agus menambahkan, belum waktunya bagi Indonesia melonggarkan kebijakan kebijakan pengendalian penduduk dengan program dua anak cukup. Meski TFR turun, kekhawatiran Indonesia akan seperti negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang kekurangan angkatan kerja dinilai berlebihan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal. Meski kebutuhan membesarkan anak makin mahal seperti di negara maju, dukungan keluarga besar (extended family) akan membuat keinginan keluarga Indonesia punya anak tetap tinggi. Bahkan, di sebagian komunitas, tetangga juga bisa diperbantukan guna menjaga dan merawat anak. “Di negara maju, beban itu hanya ditanggung keluarga inti,” katanya.

Sekretaris Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan, Dwini Handayani menambahkan, meski TFR di sejumlah provinsi sudah di bawah 2, bukan berarti kebijakan pengendalian penduduk pun bisa dilonggarkan. “KB harus dimaknai bukan sekedar pengendalian penduduk, apalagi penggunaan alat kontrasepsi, melainkan menciptakan penduduk berkualitas,” katanya.

Untuk membuat penduduk berkualitas, tantangan yang dihadapi pemerintah masih sangat berat. Berbagai infrastruktur dasar di sektor pendidikan, kesehatan, papan, hingga sanitasi masih jadi persoalan besar di banyak daerah. (MZW/NAD).

*Harian Kompas (31/7) | Foto. Pelayanan KB/DP3AKB Kab. Bojonegoro