DEMOGRAFI Problem Penduduk Menua Harus Ditangani | KOMPAS

14 Juli 2017 | admin
Arsip Media, Berita PSKK, Main Slide, Media

JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan tentang kependudukan mesti disusun dengan mempertimbangkan perubahan struktur penduduk Indonesia. Dengan demikian, bonus demografi yang didapatkan Indonesia karena jumlah penduduk produktif lebih besar dibandingkan dengan usia muda dan usia lanjut akan maksimal. Hal itu terkait juga dengan perencanaan fiskal ke depan.

“Sekarang, bonus demografi di Indonesia yang menurut perkiraan awal akan sampai 2030, mungkin akan terjadi lebih panjang. Lalu, pada 2045, kita akan masuk ke soal penduduk yang menua, seperti negara Barat dan Jepang. Pertanyaannya, mau terjadi alamiah atau menyusun strategi?” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro dalam “Dialog Kebijakan Demografi Indonesia: Masa Depan yang Diinginkan” yang dilaksanakan sekaligus memperingati Hari Kependudukan Dunia, Selasa (11/7), di Jakarta.

Bambang mengatakan, selama ini persoalan kependudukan dipandang sebagai hal yang alamiah. Demikian pula pandangan terhadap adanya bonusi demografi yang diprediksi akan terjadi pada 2020 dan memuncak pada 2030. Setelah itu, masuk pada fase penduduk yang mulai menua, sementara saat ini tidak ada kebijakan terkait kependudukan yang baru setelah program Keluarga Berencana (KB) dimulai pada 1971. Program KB tersebut dinilai berhasil memengaruhi struktur penduduk di Indonesia.

Saat ini, kata Bambang, Bappenas tengah menyusun pembaruan proyeksi kependudukan Indonesia tahun 2045 atau ketika 100 tahun Indonesia merdeka. Isu yang menjadi perhatian ke depan adalah kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini berada dalam bayang-bayang jebakan negara dengan pendapatan menengah. Sebab, sudah 15 tahun terakhir, pendapatan per kapita Indonesia berkisar 3.500 dollar AS sampai 3.600 dollar AS atau termasuk golongan negara dengan pendapatan menengah ke bawah.

Jika dikaitkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2045, Indonesia baru dapat keluar dari jebakan negara dengan pendapatan menengah pada 2038. Itu pun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi setidaknya 5 persen per tahun mulai sekarang. Itu berarti, pada usia Indonesia yang ke-100 dan baru menikmati sebagai negara berpendapatan tertinggi selama 7 tahun, Indonesia harus menghadapi populasi penduduk menua yang semakin besar.

Data Bappenas yang mengutip UN Ppopulation Projection 2013 memproyeksikan, pada 2045 persentase penduduk usia muda atau produktif adalah 66 persen dengan penduduk usia tua atau di atas 65 tahun sekitar 14 persen. Populasi penduduk usia tua itu lebih tinggi dibandingkan dengan saat Indonesia mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030 dengan penduduk usia tua sekitar 9 persen, sementara penduduk usia produktif mencapai 68 persen. Padahal, jumlah penduduk menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi rumah tangganya. Terlebih, terdapat kelas menengah yang akan terus tumbuh.

Urutan ketujuh

Bambang menambahkan, dari kajian yang dapat dipertanggungjawabkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 sekitar 306 juta dan berada di urutan ketujuh dunia. Padahal, tingkat kelahiran di Indonesia hingga 2045 diprediksi terus menurun. Pada 2045, angka kelahiran total (TFR) setiap provinsi di Indonesia berbeda-beda. Angka kelahiran paling tinggi diproyeksikan di Nusa Tenggara Timur dengan 2,81, sementara terendah di DI Yogyakarta dengan 1,45.

Padahal, angka kelahiran total yang ideal menurut Bambang adalah 2,1. Program KB yang dimuali tahun 1971 telah menurunkan angka kelahiran total dari 5,6 menjadi 2,6 pada 2012. “Usia harapan hidup juga mesti terus meningkat sehingga tanggungan penduduk usia tua yang harus ditanggung BPJS akan menjadi bom waktu. Bukannya mau memperpendek harapan hidup, melainkan bagaimana memperpanjang usia produktif. Dulu target kita adalah menurunkan angka kelahiran, tetapi sekarang kita ingin menjaga TFR ideal sekitar 2,1,” ujar Bambang.

Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Turro S. Wongkaren mengatakan, perhitungan bonus demografi tidak hanya terkait dengan isu jumlah penduduk, tetapi juga mencakup isu produktivitas dan konsumsi. Kalau hanya memperhitungkan jumlah penduduk, hal itu mengasumsikan angka produktivitas dan konsumsi sama. “Di negara lain pada saat usia tua, pengeluaran lebih besar karena masalah kesehatan. Lalu juga soal skema pajaknya,” kata Turro.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sukamdi mengatakan, kebijakan harus dibuat berdasarkan kondisi setiap provinsi. ‘Kebijakan pemerintah harus membedakan antara provinsi dengan angka kelahiran rendah dan yang dengan angka kelahiran tinggi. Variasi angka kelahiran perlu dijadikan dasar pembuatan kebijakan yang sifatnya tidak tunggal,” kata Sukamdi.

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Wendy Hartanto mengatakan, angka kelahiran 2,1 sebenarnya ditargetkan dapat terjadi pada tahun 2015. Namun, karena tidak tercapai, digeser menjadi 2025. “Di Korea, penduduk tidak ingin mempunyai anak karena mungkin biaya hidup yang mahal. Hal itu juga bisa terjadi nantinya di Indonesia,” ujar Wendy. (NAD)

*Sumber: Kompas (12/7) | Ilustrasi penduduk lanjut usia/http://assets.kompas.com