DANA DESA: Pemerintah Harus Jaga Tren Perubahan Positif Desa

12 Desember 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Implementasi dana desa yang berjalan selama tiga tahun terakhir, dinilai memunculkan dinamika baru di desa yang mengarah pada perubahan positif. Perubahan positif tersebut, seperti bergeraknya partisipasi masyarakat, responsivitas pembangunan, dan transparansi anggaran pembangunan desa.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si. dalam SEMINAR NASIONAL “Dana Desa Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Appraisal Implementasi 3 Tahun Dana Desa” yang diselenggarakan di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Sabtu (9/12) mengatakan, pemerintah harus menjaga gejala tren perubahan positif tersebut dengan memahami kembali bahwa dana desa merupakan wujud redistribusi sumberdaya negara (economic justice) karena konsekuensi negara menggunakan asas rekognisi dan subsidiaritas dalam pengaturan desa.

Berangkat dari spirit untuk mewujudkan kemandirian desa, mempercepat pertumbuhan dan pembangunan di desa, serta kesejahteraan masyarakat desa, implementasi kebijakan dana desa ternyata masih menimbulkan pro dan kontra. Dalam praktiknya di lapangan, masih banyak ditemukan tantangan dan hambatan.

Agar lebih jeli melihat persoalan-persoalan tersebut, maka FISIPOL UGM bersama dengan PSKK UGM, PSPK (Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan) UGM, dan Institute for Research and Empowerment (IRE) melakukan kolaborasi studi tentang capaian implementasi dana desa. Studi yang didukung sepenuhnya oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemendesa) ini menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat dan desa dalam aspek sarana, prasarana dasar, dan pemberdayaan desa mulai terpenuhi secara bertahap dengan adanya dana desa.

Sebanyak 87,9 persen masyarakat di wilayah Maluku, NTB, NTT, dan Papua berpendapat bahwa dana desa berkontribusi bagi pembangunan fasilitas umum (jembatan, jalan, lapangan olahraga, balai pertemuan, dan pasar), diikuti kemudian persentase pendapat masyarakat di Sumatera (84,9 persen), Kalimantan dan Sulawesi (63,9 persen), serta Jawa dan Bali (62,7 persen).

Masih dari wilayah Maluku, NTB, NTT, dan Papua, sebanyak 90,5 persen masyarakat di sana juga berpendapat bahwa dana desa berkontribusi besar bagi pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi desa, seperti BUMDes, peningkatan UMKM, pelatihan/KBM, beasiswa, peningkatan ekonomi lokal, dan lapangan pekerjaan. Sementara di wilayah lainnya ada 88,5 persen masyarakat Sumatera, 66,2 persen masyarakat Kalimantan dan Sulawesi, serta 55,5 persen masyarakat Jawa dan Bali yang berpendapat sama.

Untuk responsivitas program, sebanyak 84,4 persen masyarakat di Sumatera berpendapat bahwa pembangunan sarana prasarana sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di desa, menyusul kemudian persentase pendapat masyarakat di Jawa dan Bali (74,29 persen), Maluku, NTT, NTB, dan Papua (52,67 persen), serta Kalimantan dan Sulawesi (48,67 persen).

Untuk transparansi atau tingkat keterbukaan pemerintah desa di dalam mengelola dana desa, hasilnya cukup bervariasi. Di wilayah Maluku, NTT, NTB, dan Papua misalnya, hanya sebanyak 31,76 persen masyarakat yang berpendapat pengelolaan dana desa terbuka. Lainnya menjawab sangat terbuka (19,59 persen), tidak terbuka (23,65 persen), dan cukup terbuka (15,54 persen).

Dari sisi kebijakan, Hadna menambahkan, studi ini juga melihat bahwa peraturan teknis terkait dana desa yang diterbitkan oleh pemerintah belum koheren dan sinkron satu sama lain sehingga mempersulit daerah. Desa terkuras energinya untuk melayani administrasi dana desa.

“Wajar karena pengelolaan dana desa mulai dari perencanaan, penatausahaan, pengawasan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban saat ini lintas kewenangan di tiga kementerian. Tuntas dulu di pusat, baru beres di daerah,” kata Hadna lagi.

Studi yang menggunakan dua pendekatan, yakni kuantitatif (survei) dan kualitatif (wawancara mendalam) ini juga menghasilkan sekian rekomendasi penting untuk perbaikan pelaksanaan program dana desa. Beberapa di antaranya, yakni 1) membuat kebijakan satu pintu (terintegrasi) untuk mengatur semua hal terkait implementasi dana desa baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, 2) melakukan peninjauan setiap tahun terhadap efektivitas proporsi anggaran untuk bidang pembangunan, pemberdayaan, penyelenggaraan pemerintahan dan sosial kemasyarakatan, 3) memperjelas hubungan kewenangan pemerintah daerah dengan desa dengan mengidentifikasi jenis-jenis kewenangan apa saja yang menjadi milik daerah dan desa, sekaligus menghindari prinsip pembagian kewenangan sisa, 4) mengembangkan model pengawasan yang demokratis, yang berbasis pada partisipasi masyarakat dan tata kelola pemerintahan daerah maupun desa yang high performance daripada menggunakan instrumen keamanan untuk menekan penyimpangan dana desa, 5) alokasi dana desa harus memperhatikan dan mendorong partisipasi aktif dari kelompok marjinal dalam masyarakat, 6) menggunakan prinsip insentif dan disinsentif dalam kebijakan pencairan dana desa dan menghindari prinsip tanggung renteng karena akan menyandera desa-desa yang ingin segera maju. [] Media Center PSKK UGM | Foto by. Wini Tamtiari