COVID-19 Dari Perspektif Kependudukan dan Kebijakan

20 April 2020 | admin
Berita PSKK

Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan Webinar (Web Seminar) bertajuk “COVID-19 dari Perspektif Kependudukan dan Kebijakan,” pada Senin, 20 April 2020 pukul 10.00-12.00 WIB.

Pola penularan COVID-19 yang mengikuti laju eksponensial memaksa masyarakat untuk menerapkan physical distancing, bahkan banyak negara yang kemudian mengeluarkan kebijakan full lockdown atau partial lockdown untuk memperlambat atau menurunkan tren penularan pandemi tersebut.  Di Indonesia, terhitung sejak 7 April 2020 mulai diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Dr. Elan Satriawan, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM sekaligus Kepala Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K selaku narasumber mengungkapkan, kebijakan PSBB dan keputusan-keputusan yang diambil pada tingkat perusahan atau individu untuk tinggal di rumah dan membatasi aktivitas di luar rumah akan berdampak pada penurunan aktivitas dan volume ekonomi secara signifikan.

Penurunan aktivitas ekonomi ini berdampak paling besar pada kelompok miskin dan rentan yang mayoritas  bekerja di sektor informal dengan penghasilan harian, tanpa benefit. Mayoritas keluarga miskin dan rentan juga tidak memiliki aset dan tabungan sebagai penopang saat kehilangan atau berkurangnya pendapatan.

“Mereka-mereka yang tidak miskin ternyata tidak jauh dari garis kemiskinan. Artinya kalau ada krisis, membuat mereka yang tidak miskin kehilangan pendapatan sehingga mereka menjadi miskin. Tanpa akses program-program safety net, masyarakat miskin dan rentan akan terpukul dari dua sisi, yaitu kesehatan dan ekonomi,” tegas Dr. Elan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, menurut Dr. Elan, pemerintah harus melakukan perbaikan sistem kesehatan, memastikan efektivitas sistem dari safety net (tidak hanya terkait kesehjahteraan tetapi efektivitas PSBB), dan mengoptimalkan peran dari aktor non-pemerintah.

Dilema Mudik di Masa Darurat COVID-19

Permasalahan lain yang muncul di tengah pandemi COVID-19 adalah kegiatan perantau atau pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya (mudik). Dr. Agus Joko Pitoyo, Kepala PSKK UGM dan dosen Fakultas Geografi UGM menegaskan bahwa mudik di masa COVID-19 berpotensi memperluas penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia.

Dr. Agus memaparkan, dilansir katadata.com, berdasarkan perhitungan Indeks Kerentanan per 12 April 2020, daerah di Indonesia yang memiliki mobilitas penduduk yang tinggi cenderung rentan terhadap paparan COVID-19, seperti Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Sementara itu, berdasarkan survei Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, 44 persen migran yang berada di Jakarta sudah dan memiliki keinginan untuk pulang ke daerah asal.

Menurut Dr. Agus, jika terjadi arus balik migran dari perkotaan, seperti Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, menuju daerah asalnya, maka daerah-daerah dengan mobilitas penduduk rendah akan terancam memiliki jumlah kasus COVID-19 yang tinggi.

“Migrasi pada saat darurat wabah menjadi kunci utama dalam penyebaran COVID-19, karena itu, penting adanya kontrol terhadap arus mudik, khususnya menjelang hari raya Idul Fitri,” tegas Dr. Agus Joko Pitoyo.

Sementara itu, Dr. Agus juga memaparkan, alasan utama banyaknya masyarakat yang tetap ingin mudik di tengah pandemi COVID-19 adalah karena sebagian besar perantau yang didominasi para pekerja informal banyak yang kehilangan pendapatan. Hal ini mendorong mereka untuk kembali ke daerah asalnya dengan harapan masih tersedia kesempatan kerja lain di daerah asal, serta berharap dapat berbagi beban dengan keluarga di daerah asal. Alasan lainnya yakni untuk mencari rasa aman bersama keluarga saat darurat wabah COVID-19.

Kasus KDRT Meningkat

Dosen Fakultas Psikologi UAD, Dr. Elli Nur Hayati menyoroti masalah lain yang merebak di tengah pandemi COVID-19, yaitu meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Isu KDRT menguat kembali saat ini, terutama di negara-negara yang menerapkan lockdown. Semenjak lockdown diberlakukan, banyak perempuan yang mengajukan perceraian. Ini bukan masalah personal, tapi ada kontribusi terjadinya kekerasan, yaitu di level individual dan di level relationship,” ungkapnya.

Pada 2019, Komnas Perempuan mencatat setidaknya 11.105 kasus KDRT terjadi di Indonesia. Pembatasan sosial yang mulai diberlakukan sejak awal Maret 2020 lalu diprediksi akan menyebabkan peningkatan kasus KDRT.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, Eddy Muhammad memaparkan bahwa di Kota Yogyakarta, kasus KDRT mengalami peningkatan pada Maret 2020 sejak adanya seruan pembatasan aktivitas sosial, demikian dilansir tirto.id (20/4/2020).

Menurut Dr. Elli, hal ini diprediksi karena saat physical distancing dan terpaksa tinggal di rumah, beban ganda perempuan menjadi menguat (domestic affairs), terlebih ketika banyak laki-laki kehilangan pendapatan yang kemudian menimbulkan konflik. Sedangkan saat kekerasan terjadi, banyak pusat layanan korban kekerasan yang tutup karena harus menerapkan faktor isolasi.

“Lalu apa yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan dukungan kepada korban (hotline layanan tetap jalan), berikan pressure agar pelaku menjalankan konseling, mengendalikan stres dengan cara positif dan tidak menyakiti orang lain,” tegasnya.

Selain itu, dosen Fisipol UGM, Dr. Ambar Widaningrum menegaskan, pemerintah juga harus lebih mengoptimalkan dinamika tata kelola penanganan COVID-19. Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan kebijakan berbasis science dan evidence, melakukan penguatan koordinasi dan sinergi antaraktor, melakukan penguatan literasi terkait wabah virus khususnya COVID-19, dan menerapkan kebijakan untuk memperkuat ketersediaan dan keandalan infrastruktur penanganan COVID-19.

Berikut tautan materi seminar “COVID-19 dari Perspektif Kependudukan dan Kebijakan”.

Materi seminar 

Penulis: Nurul Widia dan Nuraini Ika

Editor: Rinta Alvionita