BEDAH BUKU RIWANTO: Menangkap Relasi Migrasi dan Konflik

11 November 2015 | admin
Berita PSKK, Kegiatan, Media, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM – Pasca konflik kekerasan pada akhir 1990-an, banyak gelombang pengungsi di negeri sendiri atau Internally Displaced Person (IDP) di Indonesia. Bukan karena bencana alam, beberapa orang mengungsi justru karena bencana sosial. Terjadi pengusiran hingga terpaksa meninggalkan rumah dan mencari tempat yang lebih aman.

Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhammad Najib Azka, M.A. saat Bedah Buku “ON THE POLITICS OF MIGRATION: Indonesia and Beyond” karya Dr. Riwanto Tirtosudarmo, M.A., Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat (6/11) mengatakan, belakangan identifikasi etnik dan agama menguat. Konflik mengakibatkan forced migration (migrasi terpaksa akibat konflik dan kekerasan).

Konflik Ambon menjadi pelajaran. Migrasi sukarela di Ambon pada titik tertentu justru menjadi faktor penting atas konflik sosial yang terjadi. Migrasi mendorong perubahan pada keseimbangan demografis. Sebelumnya penduduk di Ambon mayoritas adalah nasrani. Seiring migrasi dari luar daerah, masyarakat dari Buton, Bugis, dan Makassar menjadi populasi yang kuat. Memang ada penduduk dari daerah lain seperti Jawa, namun yang paling menonjol adalah penduduk dari ketiga daerah tersebut.

Selain mengubah keseimbangan demografis, Najib mengatakan, kelompok pendatang juga menguasai sektor-sektor ekonomi menengah ke bawah, terutama sektor informal seperti berdagang di pasar tradisional. Masalah muncul saat krisis ekonomi 1996 terjadi. Ekonomi masyarakat di Ambon benar-benar terpuruk. Terlebih lagi, menurut kajian-kajian tentang Maluku, wilayah ini termasuk yang banyak bergantung pada state budget atau anggaran negara.

“Kecemburuan sosial semakin meruncing karena para pendatang yang menguasai akses ekonomi seperti pasar tradisional. Saya kira itulah titik awal konfliknya. Muncul pengungsi dalam jumlah besar baik dari komunitas muslim maupun nasrani,” kata Najib dalam bedah buku yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada itu.

Lebih lanjut, Najib menambahkan, menarik pula untuk melihat bahwa forced migration yang semula merupakan konsekuensi dari terjadinya konflik, pada titik tertentu berbalik menjadi sumber ketidakstabilan atau konflik yang baru (new source of instability or conflict). Contohnya, kasus pengungsi Rohingya dari Myanmar yang menimbulkan dilema baru bagi negara-negara di sekitarnya seperti Indonesia.

Meski publik Indonesia setuju untuk menampung para pengungsi, hasil jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas pada Juni lalu menunjukkan data yang menarik. Sebanyak 59,8 persen responden menyatakan tidak setuju apabila Pemerintah Indonesia memberikan izin tinggal permanen di Indonesia. Pasca penerimaan pengungsi asing, 79,3 persen responden mengatakan khawatir akan adanya gesekan sosial dengan WNI. Lalu sebanyak 78,1 persen khawatir adanya perebutan sumber daya ekonomi dengan WNI, 85,1 persen khawatir perdagangan manusia semakin marak, dan 79,5 persen khawatir pelanggar batas wilayah semakin sulit ditangani.

Pengungsi asing dinilai sebagai ancaman. Ada kekhawatiran akan gesekan sosial bahkan konflik akibat persaingan ekonomi dan perbedaan latar belakang. Publik ragu untuk menerima dan bertetangga dengan pengungsi Rohingya.

“Ini sesuatu yang baru, saya kira. Berbeda dengan negara-negara barat yang sudah lama berhadapan dengan persoalan arus pengungsi dari Afrika, Eropa Timur, maupun Asia. Mereka bahkan telah mempersepsikan isu migrasi sebagai salah satu ancaman atau yang disebut nontraditional security trap,” jelas Najib.

Sementara itu, Dr. Yustinus Tri Subagya, Dosen Universitas Sanata Dharma yang juga hadir sebagai pembahas menyampaikan, buku terbaru Riwanto memang mengulas secara mendalam tentang relasi antara pembangunan, migrasi, dan konflik. Isu IDP secara khusus disinggung di bab tiga. Menurut Riwanto, IDP merupakan problem migrasi akibat dari suatu yang disebut migration engineering.

Maunya membangun bangsa dengan nasionalisme dan terintegrasi, tapi yang terjadi justru segregasi yang tajam di antara komunitas etnis dan agama. Program transmigrasi misalnya, dinilai program yang gagal mengingat dampak sosial yang ditimbulkan.

“Bukan hanya program transmigrasi, Riwanto juga melihat karena adanya marjinalisasi oleh negara dengan berpikir sempit tentang proses nasionalisme sebagai upaya untuk mengintegrasikan masyarakat, membangun nation building, tapi tidak mengindahkan aspirasi masyarakat yang sudah ada di tempat itu,” jelas Tri.

Dalam buku yang terdiri dari 12 bab ini, Tri juga menangkap keprihatinan Riwanto atas demografi yang dipersepsikan dan dipakai oleh elit penguasa sebagai faktor penting dalam konfederasi negara dan bangsa. Munculnya konflik tidak lepas dari peran elit politik yang mengambil keuntungan dan mengkonsolidasikan kekuatan guna mempertahankan posisinya. [] Media Center PSKK UGM