Angka Ketimpangan di Yogyakarta Nomor Dua Setelah Papua | Media Indonesia

19 Mei 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Yogyakarta, Media Indonesia – PEMBANGUNAN yang dilaksanakan di Yogyakarta dinilai tidak berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Masih tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di Yogyakarta merupakan salah satu indikatornya. Posisi ketimpangan DIY terbawah kedua di Tanah Air setelah Papua.

Penilaian tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Agus Heruanto Hadna, dalam jumpa pers HUT PSKK UGM ke-44, Senin (15/05). “Karena kehadiran (pembangunan Mall dan Hotel di Yogyakarta) tidak banyak membawa manfaat kepada masyarakat,” katanya.

Menurut Hadna, penduduk miskin di Yogyakarta angkanya tertinggi di Jawa, pada 2016 mencapai 488.830 jiwa, meningkat dibanding tahun sebelumnya (2016) yang mencapai 485.560 jiwa. Sedangkan Gini Ratio DIY tercatat 0,425 naik dari posisi 0,42 pada Maret 2016 dan September 2015.

Dalam teorinya, Hadna menyebut ketimpangan masyarakat DIY yang teratas dan terbawah semakin timpang. Dan dalam teori pembangunan sudah masuk dalam kategori lampu kuning. “(Ketimpangan) DIY nomor 2 di Indonesia, di bawah Papua. Ini bahaya,” kata Hadna.

Padahal, lanjut Hadna, pembangunn sedang marak terjadi di DIY, seperti pembangunan bandara internasional, mall, hotel, dan rencana jalan tol. “Seharusnya, angka ketimpangan dan angka kemiskinan menurun. Dan ini adalah anomali,” ucapnya.

Secara rinci, Hadna menyebut, tingginya angka kemiskinan terjadi di DIY karena indikator dan metode yang dipakai untuk mengukur kemiskinan tidak relevan diterapkan di DIY. Selain itu, desain progam yang dibuat pemerintah daerah tidak mengena pada kelompok sasaran. “Intervensi program tidak pas,” katanya.

Masyarakat DIY dalam analisis PSKK UGM, lanjut Hadna, sedang mencari titik keseimbangan atau ekuilibrium secara sosial ekonomi. Jadi anomali ini, imbuhnya, bagian dari proses dari proses masyarakat DIY mencari ekuilibrium. “Dan inilah dasar PSKK UGM menyelenggarakan seminar HUT ke-44 bertemakan Ayo Mbangun Jogja.”

Sementara angka ketimpangan yang kian naik, PSKK UGM menyebut karena kehadiran pembangunan yang terjadi di DIY tidak bisa mensejahterakan masyarakat dan tidak memberikan dampak positif atau tidak ada kontribusinya pada PDRB di kecamatan. Karena kalau ada kontribusinya, harusnya bisa mengangkat orang yang berada di tingkat perekonomian terbawah dan angka ketimpangan berkurang.

“Tidak ada signifikansinya. Kehadiran tidak banyak membawa manfaat kepada masyarakat DIY,” imbuhnya. Untuk mengatasinya, PSKK memberikan jalan keluar yang paling mungkin dan mudah dilakukan adalah dengan transfer aset SDM.

Pembentukan kapasitas masyarakat di Yogyakarta sangat mungkin bisa dilakukan dibanding dengan transfer dari sisi lahan, barang, dan modal. “Kalau kita anggap itu aset, yang paling mudah dan dalam waktu jangka panjang adalah aset SDM,” katanya. [] Furqon Ulya Himawan

*Sumber: Media Indonesia